Pengusaha Ngeluh Harga Gas Mahal Padahal Ada Kebijakan Harga Murah

Posted on

Para pelaku industri pengolahan mengeluhkan harga gas yang terbilang masih cukup tinggi. Kondisi ini dinilai akan mengakibatkan industri kesulitan untuk bersaing dengan produk-produk dari luar negeri.

Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Indonesia Bidang Perindustrian Saleh Husin mengatakan kebutuhan energi, khususnya gas, untuk industri kerap kali menjadi tantangan bagi para pelaku usaha untuk menjalankan operasionalnya.

“Kita tahu bahwa kebutuhan industri, kadang-kadang teman-teman ketika rapat itu selalu menyampaikan unek-uneknya bagaimana industri kita bisa tumbuh kalau ketersediaan daripada supply gasnya saja tidak mencukupi,” kata Saleh, dalam acara FGD di Menara Kadin, Jakarta Selatan, Selasa (7/10/2025).

Dari segi harga sendiri, pemerintah telah memberlakukan kebijakan gas murah industri atau Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) dengan memberikan harga gas bumi yang lebih murah sekitar US$ 6-7 per MMBTU kepada tujuh sektor industri.

Namun demikian, sejumlah pelaku industri mengaku bahwa terkadang suplai gas HGBT yang didapatkan hanya sekitar 60%, tak memenuhi seluruh kebutuhan. Sedangkan sisa kebutuhan tersebut harus dibayarkan dengan harga pasar yakni US$ 16,77.

“Sisanya itu kawan-kawan gas ini harus membeli dengan harga yang harga pasar. Kalau nggak salah US$ 16,77. Ini kan tentu tinggi. Akibatnya apa? Ya akibatnya industri kita produknya akan daya saingnya akan sangat tidak kuat,” ujarnya.

Saleh menilai, kondisi ini akan membebani operasional industri sehingga industri akan kesulitan untuk bersaing, apalagi berkembang. Kondisi ini juga membuka peluang produk-produk olahan asal luar negeri masuk dan mendominasi pasar.

“Kalau bisa mensuplai kebutuhan gas pelaku industri 100%, kalau dia menggunakannya lebih dari 100% baru mungkin dia dibolehkan beli dengan harga pasar. Tapi jangan sampai ini belum sampai kebutuhan yang dibutuhkan oleh industri 100% sudah diharus dibelikan dengan harga-harga pasar tentu,” kata dia.

“Ini akan memberatkan dunia industri itu sendiri. Sehingga akibatnya ya tentu dengan sendirinya daya saing daripada produk kita akan kurang dan akhirnya produknya akan mati, lama-lama mati untuk bangkit lagi akan sangat sulit,” sambungnya.

Kemungkinan lainnya, lanjut Saleh, kondisi tersebut juga bisa mengakibatkan para pelaku industri lokal memutuskan untuk lari ke negara-negara tetangga yang harga energinya lebih kompetitif dan mengembangkan industri di sana. Barulah dari sana, mengirimkan barang masuk ke pasar RI.

“Akibatnya kalau nanti barang jadi yang masuk ya dengan sendirinya kita tidak mendapatkan nilai tambah. Di samping itu juga lapangan kerjanya juga akan tidak tercipta. Nah hal-hal seperti inilah yang tentu harus menjadi perhatian terutama daripada pemerintah,” ujar Saleh.

Selain itu, para pelaku industri juga masih harus menghadapi sejumlah tantangan lainnya seperti fluktuasi suku bunga yang dinilai mempengaruhi daya saing, hingga biaya logistik RI yang terbilang cukup tinggi.

“Kita tahu bahwa logistik cost kita masih sangat mahal, masih sangat tinggi. Akibatnya apa? Ya akibatnya memang ini menurunkan daripada daya saing daripada produk kita,” kata Saleh.

pengusaha