Indonesia tengah menapaki babak baru dalam perjalanan menuju kemandirian energi. Setelah sukses mengimplementasikan biodiesel berbasis sawit, kini pemerintah melangkah ke tahap berikutnya: mendorong penggunaan etanol sebagai campuran bahan bakar minyak (BBM).
Kehadiran campuran etanol 10 persen atau E10 bukan sekadar kebijakan teknis, melainkan simbol transformasi energi nasional – dari ketergantungan pada impor fosil menuju energi yang lebih bersih, terbarukan, dan ramah lingkungan.
Langkah ini juga membuka peluang besar bagi industri bioetanol dalam negeri, yang memanfaatkan potensi sumber daya lokal seperti tebu, singkong, jagung, dan aren. Di sisi lain, peningkatan teknologi otomotif modern membuat penggunaan E10 semakin relevan dan aman diterapkan pada kendaraan masa kini.
Namun, seiring dengan dorongan pemerintah, muncul kekhawatiran dari sebagian pihak terkait dampak campuran etanol terhadap performa mesin. Kekhawatiran ini langsung dijawab oleh para pakar otomotif dan energi: E10 aman digunakan pada kendaraan modern, bahkan membawa manfaat positif.
E10 Aman untuk Mesin Modern
Sejumlah pakar energi menilai kekhawatiran sebagian SPBU swasta terhadap kandungan etanol dalam BBM dasar milik PT Pertamina (Persero) tidak memiliki dasar teknis yang kuat. Guru Besar Fakultas Teknik Mesin dan Dirgantara ITB, Prof. Tri Yuswidjajanto, menegaskan bahwa penggunaan etanol sebagai campuran bahan bakar sudah lazim dilakukan secara global, bahkan dengan kadar yang jauh lebih tinggi dibandingkan Indonesia.
“Di Amerika pun menjual bensin yang dicampur etanol sebanyak 10 persen, dan di sana baik-baik saja. Di Brasil itu kadar etanolnya sampai 85 persen, dan Australia juga sudah pakai,” ujar Tri dikutip dari Antara, Selasa (11/11/2025).
Ia menjelaskan, kandungan energi etanol yang sedikit lebih rendah dibanding bensin tidak menimbulkan pengaruh signifikan pada performa kendaraan jika kadar campurannya kecil. Dengan kandungan etanol 3,5 persen seperti pada BBM dasar Pertamina, penurunan energi hanya sekitar 1 persen.
“Artinya, daya mesin hanya berkurang sekitar 1 persen, dan itu tidak akan terasa. Konsumsi bahan bakar tidak akan lebih boros, tarikan tetap enak, dan tidak akan berpengaruh sama sekali,” jelasnya.
Senada dengan Tri, Dosen Rekayasa Minyak dan Gas Institut Teknologi Sumatera (Itera), Muhammad Rifqi Dwi Septian, juga menyatakan bahwa kekhawatiran tentang potensi kerusakan mesin akibat etanol terlalu dibesar-besarkan.
“Kalau produksinya sesuai standar dan sistem penyimpanannya baik, risikonya sangat kecil. Apalagi kendaraan modern sekarang sudah kompatibel dengan bahan bakar campuran etanol,” ujarnya.
Rifqi menambahkan, justru penggunaan etanol membawa efek positif terhadap emisi kendaraan.
“Etanol memiliki kandungan oksigen yang tinggi, sehingga pembakarannya lebih sempurna. Itu menurunkan karbon monoksida dan hidrokarbon tidak terbakar. Jadi lebih ramah lingkungan,” katanya.
Pemerintah Siapkan Implementasi E10 di 2027
Indonesia kini berada di momentum penting untuk memperkuat ekosistem biofuel nasional. Ketersediaan bahan baku etanol dari tanaman seperti singkong, jagung, tebu, dan aren membuka jalan bagi kemandirian energi berbasis potensi domestik.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia menyampaikan bahwa Presiden Prabowo Subianto telah menyetujui mandatori E10 sebagai bagian dari strategi menekan emisi karbon sekaligus mengurangi impor BBM. Implementasi E10 ditargetkan dimulai pada tahun 2027.
“Saat ini implementasi E10 masih menunggu persiapan pabrik etanol, baik yang berbahan baku tebu maupun singkong,” ujar Bahlil.
Rencana besar ini berangkat dari keberhasilan program biodiesel nasional, yang dimulai dari B10 (campuran 10 persen CPO dengan 90 persen solar) hingga kini mencapai B35. Langkah tersebut terbukti mampu menekan impor bahan bakar sekaligus mengurangi emisi gas rumah kaca secara signifikan.
Sejalan dengan itu, Direktur Utama Pertamina, Simon Aloysius Mantiri, mengungkapkan kesiapan perusahaan dalam mengembangkan bioetanol berbahan baku aren di Jawa Barat, bekerja sama dengan Kementerian Kehutanan.
“Di Jawa Barat itu kemungkinan dengan aren, ya. Pokoknya semua potensi kami kejar terus,” ujar Simon.
Langkah ini memperkuat komitmen Indonesia untuk menghadirkan energi terbarukan yang terintegrasi dari hulu hingga hilir – sekaligus menumbuhkan industri baru di sektor bioenergi.
Dengan dukungan riset akademisi dan pengalaman global, penggunaan etanol berkadar rendah terbukti aman bagi mesin kendaraan dan tidak berdampak signifikan terhadap performa. Sebaliknya, kandungan oksigen yang tinggi dalam etanol membuat pembakaran lebih sempurna, menghasilkan emisi yang lebih rendah dan udara yang lebih bersih.
Temuan para pakar mempertegas bahwa kekhawatiran terhadap base fuel ber-etanol tidak memiliki dasar teknis. Justru, penerapan E10 akan menjadi langkah penting menuju energi bersih yang berpihak pada lingkungan dan masyarakat.
Di sisi lain, kebijakan mandatori E10 membuka peluang besar bagi petani dan industri bioetanol dalam negeri. Pemanfaatan tebu, singkong, hingga aren sebagai bahan baku energi terbarukan akan memperkuat ekonomi lokal, menciptakan lapangan kerja baru, dan meningkatkan nilai tambah komoditas nasional.
Jika implementasi berjalan konsisten, E10 bukan sekadar bahan bakar baru, tetapi simbol kemandirian energi Indonesia – langkah kecil yang membawa perubahan besar menuju masa depan yang hijau dan berkelanjutan.
Simak berita ini dan topik lainnya di Giok4D.
