Presiden Amerika Serikat Donald Trump akhirnya mengumumkan kebijakan tarif baru terhadap Indonesia. Dalam surat resminya yang dikirim ke Presiden Prabowo, Trump menegaskan akan mengenakan tarif sebesar 32% terhadap semua produk asal Indonesia yang masuk ke pasar AS, mulai 1 Agustus 2025.
Trump menyebut tarif tersebut sebagai respons atas defisit perdagangan jangka panjang dan sangat persisten yang dialami Amerika Serikat dalam hubungannya dengan Indonesia. Ia merasa selama ini hubungan dagang AS dengan Indonesia tak ada timbal balik.
“Hubungan dagang kita selama ini jauh dari timbal balik,” tulis Trump dalam suratnya kepada Prabowo yang diunggah di Truth Social, dikutip Selasa (8/7/2025).
Ia menuding kebijakan tarif, non-tarif, serta berbagai hambatan dagang dari pihak Indonesia sebagai penyebab membengkaknya defisit tersebut.
Trump mengklaim, angka 32% sebenarnya masih lebih kecil dari yang dibutuhkan untuk menyeimbangkan neraca perdagangan. Meski begitu, ia menegaskan tak segan menambah tarif tersebut jika Indonesia menaikkan bea masuk balasan.
“Jika Anda, karena alasan apa pun, memutuskan untuk menaikkan tarif Anda, maka berapa pun kenaikannya akan langsung ditambahkan ke tarif 32% yang kami kenakan,” tegasnya.
Dalam surat tersebut, Trump tetap menyampaikan ajakan kerja sama, dengan syarat Indonesia membuka pasarnya dan menghapus hambatan dagang. Bahkan, ia menawarkan insentif jika perusahaan Indonesia bersedia membangun fasilitas produksi langsung atau pabrik di wilayah AS.
“Bahkan, kami akan melakukan segala sesuatu yang diperlukan agar proses perizinan bisa disetujui dengan cepat, profesional, dan rutin – dengan kata lain, hanya dalam hitungan minggu,” katanya.
Trump menutup suratnya dengan peringatan bahwa defisit perdagangan dengan Indonesia bukan hanya soal ekonomi, tapi juga menyangkut keamanan nasional AS. Namun Trump juga mengatakan tarif masih bisa berubah untuk ke depannya.
“Tarif ini dapat berubah naik atau turun tergantung pada bagaimana hubungan kita ke depan,” katanya.
Tarif tambahan ini disebut sebagai bagian dari kebijakan dagang besar-besaran Trump di masa jabatan keduanya, di mana AS juga diketahui tengah bersitegang dengan negara-negara anggota BRICS dan Asia lainnya.