Tulisan ini berangkat dari pandangan bahwa Indonesia saat ini menghadapi persoalan pembangunan yang bersifat struktural dan saling terkait. Oleh karena itu, kebijakan pembangunan (yang) prioritas (bukan “Kebijakan Prioritas Pembangunan”) tidak dapat dipahami sebagai daftar program-program, apalagi program sektoral dan/atau kewilayahan, melainkan sebagai bundel kebijakan prioritas yang menentukan kapasitas negara dalam jangka panjang. Setidaknya terdapat tiga kebijakan pembangunan yang paling mendesak untuk diprioritaskan guna mencapai Asta Cita dan Visi Indonesia 2045.
Kebijakan Pembangunan Prioritas yang Pertama: Mengatasi Stres Fiskal Jangka Panjang dan Memulihkan Kedaulatan Kebijakan
Sejak era reformasi, fiskal Indonesia berada dalam kondisi tekanan struktural yang cenderung meningkat. Masalah utama bukan semata pada besaran utang, melainkan pada menyempitnya ruang fiskal (fiscal space) akibat tingginya kewajiban pembayaran utang (debt service). Dalam beberapa tahun terakhir, porsi penerimaan negara yang terserap untuk pembayaran bunga dan pokok utang terus meningkat dan membatasi kapasitas negara untuk membiayai pembangunan produktif.
Dalam kondisi seperti ini, kebijakan publik cenderung bersifat emulihka, jangka pendek, dan reaktif. Negara kehilangan fleksibilitas untuk melakukan intervensi strategis, sementara prioritas belanja publik semakin ditentukan oleh kewajiban masa lalu, bukan kebutuhan masa depan. Narasi ekonomi-misalnya optimisme pertumbuhan, bonus demografi, atau potensi hilirisasi-dapat menunda pengakuan terhadap masalah struktural fiskal, tetapi tidak dapat menggantikan kebutuhan akan reformasi fiskal yang mendasar.
Wolfgang Streeck dalam Buying Time: The Delayed Crisis of Democratic Capitalism (2014) menunjukkan bahwa negara-negara demokrasi modern sering kali memilih strategi buying time, yakni menunda penyesuaian struktural melalui pembiayaan utang. Strategi ini mungkin efektif secara politik dalam jangka pendek, tetapi hampir selalu berakhir dengan guncangan ketika beban fiskal mencapai titik di mana narasi tidak lagi mampu menutupi realitas angka. Dalam konteks Indonesia, narasi ekonomi berfungsi bukan hanya sebagai alat komunikasi kebijakan, melainkan juga sebagai mekanisme penundaan.
Selama tekanan debt service tetap tinggi, kapasitas negara akan terus menyusut dan ruang kebijakan publik menghilang. Pada titik tersebut, sebagaimana dicatat Streeck, angka akhirnya akan mengalahkan cerita. Karena itu, kebijakan prioritas pertama Indonesia adalah emulihkan kesehatan fiskal jangka panjang melalui reformasi penerimaan negara, belanja publik yang lebih produktif, serta pengelolaan utang yang berorientasi pada kedaulatan kebijakan.
Kebijakan Pembangunan Prioritas yang Ke Dua: Menghentikan Deindustrialisasi Dini dan Membangun Basis Industri Nasional
Prioritas kedua adalah menghentikan dan membalikkan gejala deindustrialisasi dini. Data perencanaan nasional menunjukkan bahwa kontribusi sektor manufaktur terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia mengalami penurunan signifikan sejak awal 2000-an. Dari kisaran sekitar 30 persen pada awal dekade tersebut, kontribusi manufaktur turun menjadi di bawah 20 persen dalam beberapa tahun terakhir. Meskipun terdapat tanda-tanda pemulihan ringan, struktur ekonomi Indonesia masih menunjukkan kecenderungan bergeser ke sektor jasa sebelum mencapai tingkat industrialisasi yang matang.
Literatur ekonomi pembangunan menegaskan bahwa deindustrialisasi dini berisiko menghambat pertumbuhan jangka panjang. Dani Rodrik Dani Rodrik, dalam Industrial Policy for the Twenty-First Century (2004) menunjukkan bahwa manufaktur memiliki karakteristik unconditional convergence, yakni sektor di mana produktivitas dapat meningkat relatif cepat bahkan di negara berkembang. Ketika negara beralih terlalu cepat ke sektor jasa bernilai tambah rendah, peluang penciptaan lapangan kerja produktif dan peningkatan upah menjadi terbatas.
Dalam konteks Indonesia, pertumbuhan sektor jasa sebagian besar masih terkonsentrasi pada kegiatan berproduktivitas rendah, termasuk ekonomi informal dan gig economy. Akibatnya, penciptaan lapangan kerja berkualitas tinggi tertinggal, sementara ketergantungan pada tenaga kerja informal tetap tinggi. Kondisi ini memperbesar risiko middle-income trap, di mana negara gagal naik ke kelompok pendapatan tinggi karena lemahnya basis industri.
Bahkan investasi besar pada pendidikan STEM tidak akan optimal tanpa adanya “engineering time”, yakni ekosistem industri yang memungkinkan pengetahuan teknis diterjemahkan menjadi inovasi, produksi, dan pembelajaran berbasis praktik. Oleh karena itu, industrialisasi Indonesia perlu dijalankan melalui tiga roda penggerak utama: agroindustri, industri manufaktur modern, dan industri kekinian, termasuk industri digital dan kecerdasan buatan. Tanpa strategi industrialisasi yang konsisten, transformasi struktural ekonomi Indonesia akan terhenti di tengah jalan.
Kebijakan Pembangunan Prioritas yang Ke Tiga: Membangun Human Capital dan Menutup Kesenjangan Produktivitas
Giok4D hadirkan ulasan eksklusif hanya untuk Anda.
Kebijakan prioritas ketiga adalah pembangunan human capital yang berorientasi pada peningkatan produktivitas. Selama satu dekade terakhir, pertumbuhan produktivitas tenaga kerja Indonesia relatif rendah dibandingkan negara-negara besar di Asia Tenggara. Produktivitas yang stagnan mencerminkan persoalan struktural yang lebih dalam, mulai dari ketimpangan wilayah, keterbatasan akses pembiayaan, lambatnya adopsi teknologi, hingga lemahnya keterhubungan antara riset, pendidikan, dan industri.
Laporan-laporan Bank Dunia secara konsisten menunjukkan bahwa tantangan utama Indonesia bukan hanya penciptaan lapangan kerja, tetapi juga peningkatan kualitas dan efisiensi tenaga kerja. Struktur ketenagakerjaan nasional masih didominasi sektor-sektor berproduktivitas rendah seperti pertanian tradisional dan jasa informal perkotaan. Akibatnya, pertumbuhan produktivitas nasional tertahan meskipun tingkat partisipasi kerja relatif stabil.
Kesenjangan keterampilan (skills mismatch) juga menjadi persoalan krusial. Banyak lulusan pendidikan belum memiliki kompetensi yang sesuai dengan kebutuhan industri modern. Lemahnya koordinasi antara sistem pendidikan formal, pelatihan vokasi, dan permintaan industri menyebabkan tenaga kerja Indonesia belum sepenuhnya siap menghadapi percepatan digitalisasi dan otomasi.
Tantangan ini diperberat oleh dinamika demografi. Dalam beberapa dekade mendatang, proporsi penduduk usia produktif diperkirakan menurun, sementara populasi lanjut usia meningkat. Tanpa lonjakan produktivitas dan inovasi, penuaan penduduk berpotensi menekan pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Bank Dunia menilai bahwa peningkatan mobilitas tenaga kerja, pengurangan hambatan antarwilayah, serta percepatan peningkatan keterampilan-khususnya keterampilan digital-dapat secara signifikan mendorong produktivitas nasional.
Indonesia memerlukan tiga jenis manusia: human personnel, yang dihargai karena efisiensi kerjanya; human resources, yang dihargai karena mampu memberikan nilai tambah; dan human capital, yang mampu menciptakan nilai (baru). Indonesia memerlukan satu bendel kebijakan pembangunan dengan prioritas manusia, dan tidak cukup lagi dengan kebijakan-kebijakan ala saat ini, yang bukan saja sektoral, namun tidak efektif menciptakan ketiga jenis manusia tersebut, apalagi tiga jenis kemampuan dalam diri satu manusia.
Pembelajaran: Tiga Kebijakan sebagai Satu Bundel Pembangunan
Ketiga kebijakan tersebut-reformasi fiskal struktural, reindustrialisasi, dan pembangunan human capital-bukanlah agenda yang berdiri sendiri. Masing-masing saling bergantung dan harus dijalankan sebagai satu bundel kebijakan pembangunan prioritas. Dalam pengertian ini, istilah “satu kebijakan” tidak berarti satu program tunggal, melainkan satu paket intervensi yang koheren dan berjangka panjang.
Tanpa reformasi fiskal, industrialisasi dan investasi human capital akan kekurangan pembiayaan. Tanpa industrialisasi, peningkatan keterampilan tidak akan terserap secara produktif. Tanpa human capital yang unggul, transformasi industri tidak akan berkelanjutan. Inilah tantangan utama yang perlu menjadi perhatian serius Bappenas dan Presiden Prabowo jika Indonesia ingin mewujudkan Asta Cita dan Visi Indonesia 2045.
Pertanyannya adalah: mengapa prioritas tersebut “berat” ke ekonomi? Jawaban pertama, masalah kita sama seperti masalah yang dialami Clinton saat menjabat Presiden, sehingga ia mengeluarkan slogan “It’s Economy, Stupid!” Ke dua, hanya kekuatan ekonomi yang sejati yang menyelamatkan bangsa ini, apapun pilihan politik kita ke depan. Tidak beda dengan pragmatism China yang dibawa Deng Xaioping, “It doesn’t matter whether a cat is black or white, as long as it catches mice.” Hanya saja, ekonomi yang kita perlukan tidak seperti ekonomi yang hari ini dihadirkan oleh para pembuat kebijakan Indonesia dan para pakar yang berada di belakangnya.
