Demo sopir truk yang marak terjadi di beberapa daerah seharusnya tidak dianggap sekadar bentuk penolakan terhadap penegakan hukum semata. Aksi mereka mencerminkan puncak gunung es dari sistem logistik yang tidak baik hingga penegakan hukum yang sering tebang pilih.
Demo yang dimaksud menyangkut kebijakan Zero ODOL (Over Dimensi Overload) dari pemerintah yang ramai-ramai ditolak sopir. Pemerhati Transportasi, Muhammad Akbar mengatakan, ODOL bukanlah hal baru dan sudah berlangsung bertahun-tahun.
Truk-truk gendut dengan muatan melampaui batas dan berdimensi berlebih dibiarkan berlalu lalang di jalan raya, seolah-olah pelanggaran ini adalah sesuatu yang normal dan bisa dimaklumi. Akibatnya nyata, kerusakan jalan terus berulang, angka kecelakaan meningkat, dan biaya logistik membengkak.
“Namun sayangnya, langkah penyelesaiannya selalu setengah hati. Lalu ketika pemerintah akhirnya mulai mengambil langkah, pendekatan pertama justru berupa sosialisasi langsung di jalan oleh polisi lalu lintas kepada para sopir truk,” katanya dalam keterangan tertulis, Minggu (29/6/2025).
“Sayangnya, pendekatan ini dinilai kurang tepat, bahkan juga rawan salah paham. Sudah jadi rahasia umum – setiap kali polisi mendekati truk di jalan, sopir langsung cemas, mengira ini awal mula razia atau penindakan. Alhasil, kesan yang muncul cuma satu: bahwa penegakan hukum hanya menargetkan sopir di lapangan,” tambah dia.
Maka tidak heran jika demo sopir kembali muncul. Menurutnya hal itu bukan karena menolak aturan, melainkan karena mereka merasa diposisikan sebagai pihak yang paling bersalah. Padahal sopir bukanlah pihak yang menentukan ukuran bak truk, apalagi jumlah muatan yang harus dibawa.
Sering kali mereka bahkan tak punya pilihan untuk menolak ketika diminta membawa beban berlebih. Menolak berarti kehilangan pekerjaan. Maka menurutnya, ketika mereka turun ke jalan, itu bukan bentuk pembangkangan, melainkan seruan keadilan.
Ia juga meminta agar jangan hanya menghukum yang menjalankan, sementara yang memerintah justru dibiarkan lepas tangan.
Selama ini, penanganan ODOL cenderung menggunakan pendekatan quick fix, razia di jalan tanpa menyentuh akar masalah. Yang terjadi sopir ditilang, truk ditahan, sementara pihak yang seharusnya paling bertanggung jawab, yaitu pemilik barang, pemilik truk, hingga karoseri, nyaris tak tersentuh.
Padahal, pelanggaran muatan tidak terjadi secara tiba-tiba. Itu adalah hasil dari keputusan bisnis yang keliru dan sistematis: satu truk dipaksa mengangkut dua kali kapasitas demi menekan ongkos logistik.
Truk-truk dengan dimensi tak wajar seenaknya masih leluasa di jalan nasional tanpa hambatan berarti. Banyak di antaranya telah dimodifikasi agar lebih panjang atau lebih tinggi oleh karoseri, bahkan hingga melampaui batas yang seharusnya tak mungkin lolos uji KIR.
Namun kenyataannya, kata dia, kendaraan-kendaraan ini tetap bisa beroperasi di jalan umum. Sistem pengawasan yang seharusnya menjadi pengendali justru mudah dilewati. Ia menuding data bisa dimanipulasi, surat-surat bisa diurus, dan pengawasan bisa diakali. Uji KIR yang seharusnya jadi alat kontrol bisa disiasati.
“Akibatnya, jalanan rusak terus-menerus karena sistem pengawasan yang dibiarkan lemah. Maka pertanyaannya bukan lagi siapa yang bersalah, tapi mengapa kita membiarkan pelanggaran ini menjadi kebiasaan. Apakah semua ini semata-mata kesalahan sopir? Jelas bukan mereka satu-satunya pelaku,” beber dia.
Kunci Penertiban ODOL Ada di Hulu, Bukan Sekadar di Jalan
Untuk menuntaskan ODOL pemerintah harus berani ubah pendekatannya secara mendasar. Penegakan hukum tidak cukup berhenti di hilir, pada sopir di jalan atau petugas lapangan.
Fokus utama seharusnya menyasar para pengambil keputusan yakni pemilik barang yang memuat barang berlebihan, pemilik armada yang memberi izin operasional, hingga karoseri yang memodifikasi truk di luar batas wajar.
“Di titik-titik inilah semua keputusan pelanggaran bermula, namun selama ini justru titik-titik krusial tersebut sering luput dari pengawasan. Imbauan atau sanksi administratif saja tidak cukup,” tutur dia.
Sudah saatnya Pemerintah mengambil langkah yang lebih menyeluruh dan berani dalam menelusuri struktur pelanggaran ini, agar tidak terus tumbuh anggapan bahwa penegakan hukum hanya tajam ke bawah, tapi tumpul ke atas.
Tanpa keberanian menyentuh aktor-aktor utama di balik rantai pelanggaran ODOL ini, seluruh upaya penertiban hanya akan menjadi drama tahunan, seremonial belaka, ramai di permukaan, tapi tidak pernah menyentuh akar persoalan.
Dampak kendaraan ODOL pada kerusakan jalan sangat nyata dan bukan kerugian recehan. Kementerian Pekerjaan Uumum mencatat, bahwa setiap tahun, anggaran negara hingga Rp 40 triliun harus digelontorkan hanya untuk memperbaiki jalan rusak akibat kendaraan ODOL.
“Bayangkan, uang sebesar itu seharusnya bisa digunakan untuk membiayai pendidikan, layanan kesehatan, atau memperkuat ketahanan pangan, bukan menambal kerusakan akibat kelalaian penegakan hukum yang dibiarkan terus berulang” katanya lagi.
Menata Ulang Ekosistem Logistik dan Membangun Sistem Pengawasan Digital
Ke depan, digitalisasi dalam sistem logistik bukan menjadi keharusan dan tak bisa lagi mengandalkan cara-cara konvensional. Pemerintah perlu mempercepat adopsi teknologi seperti fleet tracking, weigh-in-motion system, serta sistem pelaporan digital yang terhubung dari titik muat hingga titik bongkar.
Langkah ini tidak hanya akan meningkatkan efisiensi, tetapi juga memperkuat pengawasan secara menyeluruh. Pemerintah juga dapat bekerja sama dengan operator logistik besar untuk menumbuhkan budaya kepatuhan berbasis data. Dengan sistem yang transparan dan saling terhubung, potensi pelanggaran bisa terdeteksi dan dicegah sejak awal, sebelum truk-truk ODOL itu sampai ke jalan raya.
“Kita bisa belajar dari kesuksesan Jepang dan Korea Selatan dalam penataan sistem logistik yang tertib, transparan, dan berbasis teknologi. Di Negeri Sakura, misalnya, setiap kendaraan barang wajib terintegrasi dengan Freight Information Management System,” ungkapnya.
Sistem ini memonitor tiga hal vital secara real-time: rute yang dilalui, berat muatan, dan durasi perjalanan. Hasilnya pemerintah dapat menganalisis pola perjalanan dan mendeteksi anomali, termasuk indikasi kelebihan muatan, sejak dini.
Sementara itu, Korea Selatan menerapkan sistem logistik berbasis digital bernama ILIS ( Integrated Logistics Information System). Sistem ini menghubungkan semua pemain dari pemilik barang sampai operator logistik dalam satu jaringan yang saling mengawasi.
Sistem ini juga mengatur batas tarif angkutan ( freight rate ) yang adil dan transparan, guna mencegah praktik banting harga yang sering mendorong muatan berlebih demi menekan biaya. Yang lebih canggih, semua aktivitas logistik dapat dilacak secara real-time , mulai dari titik muat hingga titik bongkar.
Jika terjadi pelanggaran, seperti kelebihan muatan atau manipulasi tarif, sistem ini memungkinkan penindakan yang menyasar seluruh pihak yang terlibat. Tidak hanya sopir, tetapi juga pemilik barang dan penyedia jasa logistik. Sanksinya beragam, mulai dari administratif hingga pencabutan izin usaha.