Penemuan cadangan gas bumi dalam beberapa tahun terakhir dinilai memiliki dampak positif terhadap ketahanan ekonomi, ketahanan energi dan kebijakan transisi energi. Peningkatan pemanfaatan gas bumi dapat membantu merealisasikan komitmen Indonesia menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 31,89% atau setara 915 juta ton CO2e pada 2030.
Demikian kata Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro. Berdasarkan simulasinya, jika 50% volume konsumsi minyak bumi dan batu bara Indonesia dikonversi menggunakan gas bumi, dapat menurunkan emisi 159,51 juta ton CO2e atau setara dengan sekitar 44,5% dari total target penurunan emisi sektor energi Indonesia.
“Pemanfaatan gas bumi akan memiliki dampak yang lebih positif karena dapat menyeimbangkan antara daya beli masyarakat dan pencapaian target penurunan emisi. Penurunan emisi tetap dapat dicapai dengan tetap menjaga daya beli dalam tingkatan tertentu,” kata Komaidi dalam ReforMiner Note, Kamis (6/11/2025).
Hasil studi ReforMiner menemukan saat ini terdapat sekitar 113 (dari 185 sektor ekonomi) yang terkait dan terlibat dengan kegiatan usaha hulu gas bumi. Index multiplier industri hulu gas nasional sebesar 6,56, menunjukkan bahwa setiap investasi pada kegiatan hulu gas bumi berpotensi menciptakan manfaat atau nilai tambah ekonomi hingga 6,56 kali lipat dari nilai investasi yang dilakukan.
Dari aspek fiskal dan moneter, pemanfaatan gas bumi berpotensi memberikan dampak positif dalam memperkuat stabilitas fiskal dan moneter nasional. Substitusi penggunaan LPG dengan program jaringan gas (jargas) disebut berpotensi menurunkan beban subsidi dan kebutuhan devisa impor LPG.
“Implementasi target 4 juta sambungan jaringan gas rumah tangga berpotensi mengurangi impor LPG sekitar 400.000 metrik ton atau sekitar 6,15% dari total impor nasional dan menghemat subsidi energi sekitar Rp 2,68 triliun,” beber Komaidi.
Studi ReforMiner menemukan manfaat ekonomi dari kebijakan hilirisasi gas akan lebih optimal jika bahan baku gas bumi berasal dari produksi di dalam negeri. Sebagai contoh pada industri petrokimia, penggunaan gas bumi melalui produksi domestik berpotensi meningkatkan index multiplier effect hingga 5,28 kali jika dibandingkan penggunaan gas impor.
Gas bumi memiliki peran penting dalam ketahanan energi nasional. Sampai akhir 2024, porsi gas bumi dalam bauran energi nasional sekitar 16,69%, minyak bumi sebesar 29,9%, batu bara 39,48% dan Energi Baru Terbarukan (EBT) 14,1%.
Berdasarkan Kebijakan Energi Nasional (PP No. 40 Tahun 2025), porsi gas bumi dalam bauran energi nasional diproyeksikan akan tetap meningkat dari 12,9-14,2% pada 2030 menjadi 14,4-15,4% pada 2060.
Peran penting gas bumi dalam ketahanan energi nasional juga tercermin dari potensi dan cadangan terbukti yang telah tersedia. Berdasarkan Neraca Gas Kementerian ESDM
(2025), optimalisasi cadangan gas bumi existing berpotensi dapat meningkatkan
produksi gas nasional dari 5.777 MMSCFD pada 2025 menjadi 10.241 MMSCFD pada 2035. Pada periode yang sama, kebutuhan domestik diproyeksikan berada pada kisaran
5.751 MMSCFD, sehingga masih terdapat surplus pasokan sekitar 4.490 MMSCFD.
Data SKK Migas (2025) menunjukkan dalam beberapa tahun terakhir aktivitas eksplorasi migas nasional semakin didominasi oleh penemuan cadangan gas bumi. Sejumlah temuan besar meliputi Layaran-1 di Blok South Andaman (6 TCF), Timpan-1 di Blok Andaman II (5-6 TCF), Geng North-1 di Blok North Ganal (5 TCF), serta South CPP (87,09 BCF). Hingga Juni 2025, total cadangan gas (proven + potential) Indonesia tercatat sebesar 51,98 TCF.
Dikarenakan perannya sangat strategis, pemanfaatan gas bumi dinilai perlu diikuti dengan kebijakan yang dapat menyelesaikan sejumlah permasalahan pada industri gas nasional seperti percepatan pembangunan infrastruktur gas, penyediaan kepastian investasi, penguatan akses pasar, serta penetapan harga yang proporsional untuk semua pihak.
Tonton juga video “Heboh Semburan Berbau Gas Muncul di Kali Gununganyar Surabaya”
