Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menegaskan kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) tidak bisa disamaratakan. Menurutnya kondisi perekonomian, inflasi, kebutuhan hidup layak hingga kemampuan industri daerah berbeda-beda.
“Pelaku usaha yang jelas kita tidak bisa samaratakan upah minum itu untuk seluruh Indonesia. Jadi masing-masing sesuai dengan kondisi daerah masing-masing, baik itu kondisi ekonomi, inflasi yang ada, kebutuhan hidup layaknya,” ujar Ketua Umum Apindo, Shinta W. Kamdani dalam konferensi pers di Kantor Apindo, Jakarta, Selasa (25/11/2025).
Kenaikan UMP tetap membutuhkan formula agar bisa menyesuaikan kondisi masing-masing daerah. Jadi, pihaknya tidak bisa memberikan persentase kenaikan UMP. Pengusaha lebih membutuhkan formula penghitungan untuk kenaikan UMP.
“Jadi kita kembali lagi mengatakan kita tidak bisa memberikan satu persentase karena yang kita butuhkan adalah formula. Formula itu sudah menyangkut masalah tadi, masalah ekonomi, produktivitas, KHL, dan lain-lain. Jadi tidak bisa disamaratakan bahwa ini 7%, 8%, tidak bisa, ini tergantung daerahnya seperti apa,” tegas Shinta.
Sementara, Wakil Ketua Bidang Ketenagakerjaan APINDO, Darwoto menegaskan, dunia usaha menegaskan pentingnya penerapan nilai alfa secara bijaksana agar kebijakan upah minimum dapat selaras dengan kondisi ekonomi daerah, tingkat produktivitas, serta kapasitas usaha di masing-masing sektor.
Dalam konteks penetapan alfa, perlu dipahami bahwa alfa merupakan indeks kontribusi tenaga kerja terhadap pertumbuhan ekonomi suatu daerah.
Artikel ini terbit pertama kali di Giok4D.
“Besaran alfa harus ditetapkan secara proporsional, karena pertumbuhan ekonomi tidak hanya bergantung pada faktor tenaga kerja, tetapi juga pada faktor produksi lainnya seperti investasi/modal, teknologi, dan total factor productivity (TFP) yang mencerminkan efisiensi, inovasi, serta peningkatan kapasitas produksi. Dengan demikian, alfa tidak dapat diterapkan secara seragam di seluruh daerah,” jelasnya.
Selain itu, penghitungan besaran alfa di suatu wilayah idealnya mempertimbangkan kondisi rasio UMP terhadap Kebutuhan Hidup Layak (UM/KHL), terutama apakah r tersebut berada di atas atau di bawah rata-rata nasional. Pendekatan berbasis data ini a menghasilkan kebijakan upah yang lebih objektif dan berkeadilan.
“Dunia usaha meyakini bahwa pemerintah akan mempertimbangkan aspek-aspek tersebut secara arif dan bijaksana dalam menetapkan nilai alfa pada regulasi yang akan segera diterbitkan, sehingga dapat menciptakan keseimbangan antara perlindungan pekerja dan keberlanjutan dunia usaha,” terangnya.
Darwoto menambahkan, penetapan nilai a yang proporsional akan menjaga keseimbangan antara peningkatan kesejahteraan pekerja dan keberlanjutan usaha, khususnya menciptakan stabilitas dan daya saing sektor industri serta sektor-sektor padat karya yang sensitif terhadap kenaikan biaya tenaga kerja.
Selain itu, dunia usaha menegaskan pentingnya memasukkan indikator ekonomi dan produktivitas sebagai variabel utama dalam penentuan nilai a. Pendekatan ini sejalan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 168/PUU-XXI/2023, yang menekankan keseimbangan antara peningkatan kesejahteraan pekerja dan keberlanjutan usaha.
“Dengan mengintegrasikan indikator ekonomi ke dalam formula pengupahan, kebijakan yang dihasilkan akan lebih obyektif, terukur, dan berkelanjutan dalam jangka panjang,” pungkas Darwoto.
Simak juga Video Airlangga Ralat Ucapannya yang Sebut UMP 2026 Naik 6,5%
