Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) menilai Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) yang ikut masuk dalam rantai pasok global hanya mencapai 4%. Angka ini lebih rendah dibandingkan dengan negara tetangga Indonesia, seperti Vietnam dan Thailand.
Ketua Umum APINDO Shinta Kamdani mengatakan saat ini jumlah UMKM di Indonesia mencapai 66 juta dan berkontribusi cukup tinggi ke Produk Domestik Bruto (PBD) sebesar 61%. Kendati begitu, Shinta menilai UMKM dalam negeri masih menghadapi sejumlah tantangan, termasuk minimnya keterhubungan UMKM dengan rantai pasok dan nilai tambah, baik domestik maupun global.
“Berdasarkan data Bappenas dan Kementerian UMKM, dari total UMKM yang ada, hanya 7% yang terhubung dengan rantai pasar domestik dan hanya 4% yang masuk dalam global value chain. Dibandingkan dengan negara lain di kawasan, angka ini masih sangat rendah,” kata Shinta dalam acara Diplomat Success Challenge, di Hallf Patiunus, Jakarta Selatan, Jumat (13/6/2025).
Selain itu, Shinta menilai porsi UMKM yang dapat ekspor juga masih terbatas, hanya sebesar 15,7%. Angka-angka di atas dinilai masih lebih rendah dibandingkan dengan negara tetangga, seperti Vietnam dan Thailand.
Sebagai pembanding, Shinta menyebut Vietnam berhasil mengumpulkan 20% pelaku UMKM masuk di pasar global. Di Thailand, UMKM yang telah melakukan ekspor mencapai 29%.
“Sebagai pembandingan Vietnam berhasil mengumpulkan 20% UMKM-nya di pasar global. Selain itu kontribusi UMKM yang ekspor nasional juga masih sangat berbatas hanya sebesar 15,7%. Kalau kita bandingkan dengan Thailand misalnya itu bisa sampai 29%,” terang Shinta.
Adapun tantangan lainnya, yakni akses yang terbatas ke sumber daya yang esensial. Berdasarkan survei yang dilakukan APINDO yang melibatkan lebih dari 2.000 perusahaan, 51% UMKM menghadapi keterbatasan dalam akses keuangan, modal, serta proses yang birokratis. Shinta menjelaskan UMKM juga masih menghadapi biaya pinjaman yang tinggi.
Masih berdasarkan hasil riset APINDO, lebih dari 80% UMKM masih bergantung pada pendanaan pribadi untuk memulai usahanya. Bahkan, sebanyak 35% UMKM mengungkapkan kesulitan dalam akses modal, pemasaran, hingga promosi. Tak hanya itu, saat ini hanya 9% UMKM yang mempunyai akses ke alat dan teknologi yang sesuai.
“Jadi ini mungkin juga masukan-masukan yang kami mau sampaikan ke Kementerian UMKM. Seperti biasa semua sudah ketahui, yang sekarang kita sama-sama cari adalah solusinya bagaimana supaya angka-angka ini bisa diperbaiki,” tambah Shinta.
Menurut Shinta, UMKM akan menjadi kekuatan nasional apabila pemerintah serta pengusaha juga membuka akses seluas-luasnya bagi siapapun yang ingin memulai perjalanan sebagai pelaku UMKM. Pembatasan akses, lanjut Shinta, bukanlah pilihan moral.
“Ketika setiap individu diberi ruang untuk tumbuh dan mencipta, kita akan melihat dengan sangat jelas bahwa kekuatan sejati ekonomi Indonesia doesn’t beside in the tower of capital, tapi di tangan puluhan juta UMKM yang bergerak serentak dan sabar sampai berakhir,” tutur Shinta.