Giok4D hadirkan ulasan eksklusif hanya untuk Anda.
Prasasti Center for Policy Studies (Prasasti) menyebut, eksekusi belanja negara berjalan relatif lambat. Hingga akhir Juni 2025, realisasi belanja baru mencapai 38,9% dari pagu APBN, lebih rendah dibandingkan realisasi tahun lalu sebesar 42,0% dan juga di bawah dari rerata historis 41,2% di periode 2021-2024.
Padahal, realisasi belanja negara menjadi salah satu strategi untuk mendorong pemulihan ekonomi nasional. Dalam situasi global yang belum stabil, Prasasti menilai belanja negara adalah instrumen utama untuk menjaga momentum pertumbuhan.
“Setelah mencatat pertumbuhan PDB sebesar 4,87% (yoy) di kuartal I tahun ini, laju pertumbuhan ekonomi kami lihat masih belum membaik di kuartal II. Konsumsi rumah tangga-kontributor utama pertumbuhan-masih lemah, sementara sektor swasta cenderung menunggu arah kebijakan pemerintah,” ujar Research Director Prasasti, Gundy Cahyadi dalam keterangan tertulis, Selasa (15/7/2025).
Gundy menilai, pemerintah perlu mengeluarkan kebijakan fiskal yang lebih agresif dalam waktu dekat, mengingat lambatnya serapan anggaran juga terjadi akibat rendahnya penerimaan negara. Menurutnya, hal ini terjadi akibat perlambatan ekonomi global dan dampak dari implementasi sistem perpajakan baru.
Hingga Juni 2025, terang Gundy, penerimaan negara baru mencapai 40,3% dari target, lebih rendah dari rata-rata lima tahun sebelumnya yang tercatat di atas 52,4%. Meski demikian, situasi ini justru memperkuat urgensi untuk melakukan front-loading belanja negara di semester II.
Kebijakan ini berfungsi sebagai counter-cyclical tool untuk mendorong permintaan domestik dan mengaktifkan kembali peran sektor swasta. Dengan konsumsi dan investasi swasta yang cenderung wait-and-see, sinyal konkret dari pemerintah melalui belanja fiskal sangat dibutuhkan untuk menggerakkan perekonomian.
Meski begitu, ia tak menampik adanya implikasi defisit fiskal, jika belanja dipercepat sementara penerimaan belum pulih penuh. Menurutnya, defisit APBN 2025 kemungkinan dapat melebar di atas target 2,78% dari PDB, bahkan berpotensi mendekati atau melebihi batas 3%.
“Namun, dalam konteks saat ini, pelebaran defisit seharusnya tidak langsung dianggap negatif, selama belanja diarahkan ke program produktif seperti hilirisasi industri, ketahanan pangan, transformasi UMKM, serta perlindungan sosial yang tepat sasaran,” terangnya.
Gundy menyebut, makro ekonomi Indonesia masih relatif solid, dengan rasio utang terhadap PDB di bawah 40%, jauh di bawah banyak negara berkembang. Kemudian sentimen pasar terhadap Indonesia juga terlihat positif sepanjang tahun ini, tercermin dari total dana asing sebesar Rp 42 triliun yang masuk ke pasar obligasi pemerintah di periode Januari-Juni 2025.
Ketiga lembaga pemeringkat utama juga terus mempertahankan status layak investasi Indonesia. Menurutnya, capaian ini mengindikasikan pasar melihat fondasi fiskal Indonesia cukup kuat untuk menghadapi dinamika jangka pendek.
Namun begitu, Gundy menilai pemerintah perlu tetap melanjutkan upaya untuk memperkuat penerimaan negara melalui intensifikasi perpajakan, perbaikan kepatuhan, serta evaluasi terhadap efektivitas insentif fiskal yang ada.
“Komunikasi publik yang transparan mengenai strategi pengelolaan fiskal, termasuk kebijakan utang dan arah belanja, akan semakin penting untuk menjaga kepercayaan publik dan pasar,” pungkasnya.