Menjaga Daya Beli, Membuka Peluang: Merespons Hasrat Ekonomi di Tengah Tantangan Fiskal

Posted on

Di tengah pusaran turbulensi global dan bayang-bayang ‘Super Election Year’ 2024, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Indonesia diuji kemampuannya. Lebih dari sekadar cermin kesehatan fiskal, APBN kini adalah termometer vital yang mengukur ketahanan bangsa.

Meskipun berhasil meredam berbagai gejolak, ia kini berhadapan dengan ekspektasi masif: tak hanya menopang ambisi pertumbuhan ekonomi yang jauh lebih tinggi, tetapi juga menyelesaikan persoalan struktural yang belum tuntas.

Fakta berbicara. Kementerian Keuangan melaporkan pada 15 Juli 2025 di Jakarta, pada Sidang Paripurna DPR RI untuk Pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Pertanggungjawaban atas Pelaksanaan APBN Tahun Anggaran 2024, bahwa defisit APBN 2024 terkendali di 2,30% PDB, di bawah perkiraan awal 2,70%. Keseimbangan primer yang mendekati positif adalah indikator pengelolaan fiskal yang hati-hati-sebuah pencapaian di tengah ketidakpastian.

Pendapatan negara juga menunjukkan vitalitas, dengan penerimaan perpajakan melampaui target empat tahun berturut-turut. Ini memang hasil reformasi yang patut diapresiasi, namun pertanyaan besarnya, seberapa jauh tax ratio kita dapat ditingkatkan untuk kebutuhan pembiayaan ambisi masa depan?

Sinergi kebijakan fiskal dan moneter memang berhasil membawa pertumbuhan ekonomi 5,03% (yoy) di 2024, ditopang konsumsi rumah tangga (4.94% yoy) dan investasi (PMTB) (4.61% yoy). Inflasi akhir tahun pun terkendali di 1,6% (yoy), jauh di bawah asumsi. APBN memang tampil sebagai shock absorber efektif, meredam lonjakan inflasi pangan yang sempat menyentuh 10,3% pada Maret 2024.

Namun, capaian ini juga harus dilihat secara kritis: apakah pertumbuhan tersebut telah merata dan berkelanjutan di semua sektor? Atau masih ada ketergantungan pada beberapa sektor kunci yang rentan gejolak?

Lalu, seberapa efektifkah capaian makroekonomi ini menembus lapisan kesejahteraan sosial? Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan penurunan tingkat kemiskinan menjadi 9,03% pada Maret 2024 (dan 8,57% pada September 2024), dengan kemiskinan ekstrem nyaris nol (0,83%). Ini adalah narasi keberhasilan program perlindungan sosial.

Namun, pertanyaan kritisnya adalah, apakah penurunan ini berkelanjutan secara struktural, atau masih sangat bergantung pada uluran tangan bansos yang rentan terhadap dinamika anggaran? Keakuratan data penerima, meski terus diperbaiki, tetap menjadi pekerjaan rumah besar.

Di balik rapor yang cukup memuaskan ini, sebuah tantangan fundamental dan mendesak membayangi: lautan angkatan kerja yang sangat besar dan kebutuhan mendesak akan lapangan kerja berkualitas. Meskipun data pemerintah mencatat Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) menurun menjadi 4,91% pada Agustus 2024, angka ini masih menyisakan jutaan potensi yang belum teroptimalkan.

Di sinilah peran sentral APBN di tahun 2025-2026 tidak boleh lagi sekadar menjadi penyeimbang, melainkan harus bertransformasi menjadi mesin akselerator yang agresif, menopang hasrat Pemerintah Presiden Prabowo untuk mencapai pertumbuhan ekonomi fantastis: 8%.

Lanjut ke halaman berikutnya

daya

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *