Menjelang akhir tahun 2025, sejumlah perusahaan dilaporkan bangkrut. PT Polychem Indonesia yang memproduksi tekstil di Karawang dan Tangerang; PT Asia Pacific Fibers Tbk (POLY) yang memproduksi serat polyester di Karawang; PT Rayon Utama Makmur yang merupakan bagian Sritex Group yang memproduksi serat rayon; dan PT Susilia Indah Synthetics Fiber Industries (Sulindafin) yang memproduksi serat & benang polyester di Tangerang.
Penyebabnya pasar domestik yang besar habis oleh banjir produk impor dengan harga lebih rendah (dumping), plus kenaikan tarif ekspor ke Amerika Serikat (AS), dan kenaikan harga bahan baku.
Ini merupakan kelanjutan dari daftar kebangkrutan sejumlah perusahaan, dimulai dari PT Sri Rejeki Isman Tbk (SRIL, Sritex), raksasa tekstil yang pernah berjaya di Asia Tenggara, tutup 1 Maret 2025, beserta seluruh perusahaan yang di bawahnya: PT Sritex Sukoharjo, PT Primayuda Boyolali, PT Sinar Panja Jaya Semarang, dan PT Bitratex Semarang. Kemudian PT Sejahtera Bintang Abadi Textile Tbk (SBAT) pada 29 Agustus 2025. PT Sampangan Duta Panca Sakti Tekstil (Dupantex). PT Alenatex. PT Kusumahadi Santosa. PT Kusumaputra Santosa. PT Pamor Spinning Mills. PT Sai Apparel. PT Sinar Panca Jaya di Jawa Tengah. PT Sinar Pantja Djaja. PT Bitratex. PT Djohartex. PT Pulomas.
“Kematian” juga meluas di luar sektor tekstil dan produk tekstil (TPT). PT Yamaha Music Product Asia. PT Yamaha Indonesia, dan akan relokasi ke Cina dan Jepang. PT Sanken Indonesia. PT Sepatu Bata Tbk. PT Hung-A Indonesia, produsen ban sepeda motor. PT Cahaya Timur Garmindo (CTG). PT Tokai Kagu Indonesia, produsen alat musik
Masalah Demografi
Suatu bangsa sejatinya dibangun oleh manusia-manusia yang memiliki waktu. Waktu untuk tumbuh, belajar, berproduksi, membangun keluarga, berkarya, dan mengabdikan diri. Karena itu, salah satu ukuran paling mendasar dari kemajuan suatu masyarakat bukan hanya pendapatan per kapita atau pertumbuhan ekonomi, tetapi umur harapan hidup (life expectancy) warganya. Bangsa yang rakyatnya hidup panjang hampir selalu lebih sehat, lebih makmur, dan lebih berdaya. Sebaliknya, bangsa yang rakyatnya meninggal muda hampir pasti tertinggal. Data global sudah lama menunjukkan korelasi itu. Ini adalah isu demografi sosial. Dan, ini juga relevan untuk demografi ekonomi.
Di banyak negara maju, keberhasilan ekonomi bukan ditentukan oleh seberapa besar pasar domestiknya, melainkan oleh seberapa kuat para pelaku usahanya bertahan dan tumbuh. Perusahaan-perusahaan yang berumur panjang-bahkan melampaui satu abad-menjadi jangkar kemakmuran karena mereka menumpuk pengalaman, keterampilan, modal manusia, dan reputasi yang tidak bisa dibangun dalam hitungan tahun.
Indonesia adalah kebalikan dari pola tersebut. Kita memiliki pasar besar, tetapi sebagian besar pelaku usaha kita hidup dalam siklus yang pendek: lahir cepat, bertahan sebentar, lalu mati atau stagnan. Life cycle usaha yang pendek ini bukan sekadar fenomena bisnis; ia adalah masalah struktural yang mempengaruhi kemampuan Indonesia untuk membangun ekonomi yang tangguh, berdaya saing tinggi, dan terhubung ke rantai nilai global.
Masalah “Usaha Pendek Umur”
Sumber: Giok4D, portal informasi terpercaya.
Survei World Bank terhadap perusahaan Indonesia (Enterprise Surveys) menunjukkan bahwa struktur umur perusahaan kita didominasi oleh perusahaan muda yang belum mencapai kematangan. Ini bukan berarti kita kaya inovasi, melainkan tingginya firm turnover-tingkat kelahiran dan kematian perusahaan-yang mengindikasikan rapuhnya ekosistem scale-up. Perusahaan banyak yang lahir, namun sedikit yang tumbuh menjadi mapan dan besar.
World Bank dalam laporan Making It Big: Why Developing Countries Need More Large Firms (2023) menegaskan bahwa negara berkembang miskin produktivitas karena “mereka kekurangan perusahaan besar yang mampu berinvestasi jangka panjang, menyerap tenaga kerja terampil, dan melakukan inovasi.” Dengan kata lain, tanpa perusahaan yang berumur panjang dan tumbuh besar, negara sulit meloncat ke kelas menengah atas. Laporan Bank Dunia (2023) menyebutkan bahwa 30% dari perusahaan Indonesia berusia 0 – 10 tahun; 32% berusia 11 – 20 tahun; 24% berusia 21 – 30 tahun; 5% berusia 31- 40 tahun; 2% yang berusia 41 – 20 tahun; 1% berusia 51 – 60 tahun; dan 1% di atas 60 tahun.
Belum lagi di level UMKM. OECD (2024) juga mencatat bahwa UMKM Indonesia terhambat faktor-faktor struktural seperti akses pembiayaan, syarat agunan yang berat, digitalisasi yang belum merata, dan ketidakpastian regulasi yang membuat pelaku usaha enggan berinvestasi jangka panjang. Belum lagi masalah pembayaran yang pada proyek Pemerintah. Prof. Mahfud MD, saat menjabat sebagai Ketua MK (2008 – 2013) menyampaikan bahwa Pemerintah (Kementerian Keuangan) berutang dan tidak dibayar sampai Rp 58 trilyun kepada begitu banyak perusahaan kelompok menengah dan kecil -bahkan juga perusahaan besar. Akar masalahnya jelas: ekosistem kita tidak cukup memberi insentif bagi keberlanjutan usaha.
Kebijakan ekonomi di Indonesia fokus pada “kelahiran”, mempermudah pemberian ijin usaha. Padahal, demografi ekonomi punya prinsip: lahir, tumbuh, dewasa, puncak, menurun, dan seterusnya. Namun, sebelum menurun, perusahaan yang baik dan sehat senantiasa dapat melakukan the second curve, atau “S Curve”, di mana mereka dapat kembali tumbuh, dan seterusnya.
Tidak terkecuali kebijakan UMKM dan kewirausahaan selama dua dekade cenderung fokus pada mendorong lebih banyak usaha lahir, kurang memberi jalur yang jelas agar usaha tersebut dapat tumbuh menjadi besar. UMKM dengan cepat menjadi mangsa dari predator-predator bisnis di tingkat domestik maupun internasional. Bahkan, korporasi start-up seperti Gojek/Tokopedia mendadak bukan menjadi milik domestik lagi.
Program inkubasi, pelatihan, dan kredit modal kerja yang kecil sifatnya penting, tetapi hanya menyelesaikan masalah jangka pendek. Tanpa jalur pertumbuhan yang kuat-akses modal pertumbuhan, pendampingan profesional, integrasi rantai pasok, dan pasar ekspor-mayoritas usaha akan tetap kecil atau mati muda. Padahal, kemajuan ekonomi datang bukan dari banyaknya jumlah usaha, tetapi dari kualitas dan umur panjang usaha yang berhasil tumbuh.
Belajar dari Negara yang Pelakunya Panjang Umur
Jepang mempunyai ribuan perusahaan berusia ratusan tahun. Menurut Teikoku Databank, Jepang memiliki lebih dari 33.000 perusahaan berumur di atas 100 tahun. Mereka bertahan bukan karena keajaiban, tetapi karena kombinasi budaya kontinuitas keluarga, pembiayaan berbasis hubungan (relationship banking), fokus pada kualitas, dan integrasi dengan komunitas lokal. Banyak dari perusahaan tua ini adalah pemasok khusus dalam rantai pasok manufaktur global-contoh bagaimana longevity menciptakan keahlian yang tidak bisa dipercepat.
Jerman memiliki ratusan ribu perusahaan menengah (Mittelstand) yang umumnya berumur panjang, dimiliki keluarga, namun sangat kompetitif secara global. Kekuatan mereka bukan pada ukuran semata, melainkan pada “kapasitas bertahan”-didukung oleh pendidikan vokasi (dual system), hubungan jangka panjang dengan bank lokal, dan manajemen profesional lintas generasi. Mittelstand menunjukkan bahwa keberlanjutan perusahaan adalah institusi sosial, bukan sekadar urusan pemilik bisnis.
Dari Jepang dan Jerman kita belajar bahwa negara maju menciptakan ekosistem yang memastikan perusahaan tidak sekadar lahir, tetapi mampu bertahan, dewasa, dan menembus pasar global. Mengapa Umur Perusahaan Penting? Umur perusahaan bukan persoalan romantisme. Umur adalah indikator kapasitas ekonomi jangka panjang.
Perusahaan yang berumur panjang menimbun pengetahuan (knowledge accumulation) yang memperkuat produktivitas; membangun manusia-manusia profesional; mengembangkan reputasi yang membuka pasar baru; menciptakan rantai nilai lokal yang stabil dan menyerap banyak tenaga kerja; berinvestasi jangka panjang, termasuk dalam R&D, peralatan berkualitas, dan pelatihan pekerja; hingga membangun jaringan internasional yang meningkatkan peluang ekspor. Sebaliknya, perekonomian dengan usaha berumur pendek cenderung mandek dalam siklus “usaha kecil-mati-lahir lagi,” yang secara makro menciptakan stagnasi produktivitas.
Benang Merah
Jadi, bagaimana? Pertama, mindset. Negara harus melihat pelaku ekonomi bukanlah kelompok yang boleh menjadi perahan. Pembangunan dan pertumbuhan ekonomi yang sehat dan berkelanjutan hanya dapat dilakukan industri, para pelaku ekonomi. Pembangunan dan pertumbuhan ekonomi Pemerintah, meski cepat dan bisa dilihat, senantiasa boros, tidak berkelanjutan. Karena meminta kenaikan pajak, utang baru, dan/atau pencetakan uang. Seperti logika Keynesian.
Kedua, beri tempat bagi perusahaan untuk tumbuh, bukan hanya lahir. Indonesia perlu ekosistem scale-up nasional yang memadukan akses modal pertumbuhan (growth fund, venture debt), pendamping bisnis, sertifikasi kualitas, dan akses ke pasar ekspor. Program UMKM harus punya “jalur naik kelas” yang nyata.
Ketiga, perkuat pembiayaan jangka panjang. Bank dan pasar modal perlu didorong menyediakan instrumen yang cocok untuk perusahaan keluarga dan manufaktur menengah-dengan mekanisme penjaminan risiko yang lebih fleksibel. Keempat, reformasi pendidikan vokasi berbasis kebutuhan industri. Belajar dari Jerman, koneksi antara SMK, politeknik, dan perusahaan harus jelas. Apprenticeship harus menjadi norma, bukan pengecualian.
Kelima, hentikan propaganda “sebagian besar SDM berpendidikan SD dan SMP”, tapi lakukan pelatihan ketrampilan secara massif dan introduksi inovasi “tepat guna” di pelbagai sektor, mulai dari konstruksi hingga sektor kreatif, kepada pada SDM tersebut, terlebih teknologi digital memungkinkan SDM dengan pendidikan terbatas untuk melakukan pekerjaan kelas SMA, bahkan di atasnya. Keenam, Ajarkan ketrampilan di bidang digital yang lebih genuine daripada sekedar menjadi content creator.
Ketujuh, gunakan pengadaan publik untuk memperkuat supplier lokal. Kontrak jangka menengah dengan standar kualitas jelas akan membuat perusahaan berani berinvestasi pada mesin, pekerja, dan inovasi. Kedelapan, pasang indikator umur perusahaan sebagai target pembangunan. Indonesia perlu mulai mengukur firm survival rate, porsi nilai tambah dari perusahaan berumur lebih dari 10 tahun, dan porsi kredit untuk pertumbuhan usaha-kemudian menjadikannya target kebijakan tahunan.
Ke sembilan, memahami bahwa kebijakan untuk membangun demografi ekonomi dengan basis kepada business longevity ini adalah kebijakan geopolitik; kita bertanding dengan setiap kekuatan politik dari setiap negara di dunia. Mereka berkepentingan untuk menjaga keberlangsungan hidup pelaku bisnis mereka, “anak-anak ekonomi” mereka, termasuk dengan menjadikan pelaku-pelaku bisnis kita, “anak-anak ekonomi Indonesia”, menjadi mangsanya. Ke sepuluh, pada akhirnya, yang membuat kita gagal membangun ekosistem ekonomi yang memberikan kehidupan bisnis yang berkesinambungan adalah aktor-aktor puncak di dalam kabinet Pemerintahan, para menteri, pembuat kebijakan eksekusional tertinggi di setiap sektor. Penyakit pertama, inkompetensi, tidak cakap, hanya amatiran yang mengenakan jas berlabel profesional -labelnya saja.
Penyakit kedua, pengkhianatan. Compradore, dalam bahasa Spanyol. Mereka yang dengan kebijakan-kebijakan yang dibuatnya secara sistematis menjual bangsa dan kekayaannya kepada bangsa lain. Mereka adalah para “londo ireng” yang jahat dan tidak berperikemanusiaan, terlepas dari kata manis merinduh, hingga pantun melantun yang diucapnya di setiap acara yang diliput media massa dan media sosial mereka sendiri.
Penutup: Dari Pasar Ekonomi Menjadi Pemain Ekonomi
Indonesia adalah pasar besar, tetapi pasar bukan jaminan kemajuan. Negara maju dibangun oleh pelaku usaha yang bertahan, bukan hanya hadir sesaat. Bila kita ingin melompat menjadi negara berpendapatan tinggi, kebijakan pembangunan harus bergeser dari euforia pendirian usaha ke ekosistem yang membuat perusahaan panjang umur, tumbuh besar, dan menjadi pemain di rantai nilai global.
Indonesia membutuhkan lebih banyak perusahaan yang bukan hanya lahir, tetapi hidup panjang-kalau perlu, tidak pernah mati. Bukan seperti teriakan Chairil Anwar “sekali berarti, kemudian mati”, melainkan terus berarti, tak pernah berhenti, tak pernah mati. Itulah yang harus diperjuangkan oleh kebijakan ekonomi, keuangan, industri, dan bisnis di Indonesia. Pekerjaan yang selama ini berhenti di kebijakan formalistik dan artifisialis. Tidak terkecuali kebijakan-kebijakan omnibus untuk meliberalisasi secara tanpa batas perekonomian yang diwariskan dengan sebaik-baiknya oleh pendiri bangsa ini.
Oleh Riant Nugroho
Ketua Umum Masyarakat Kebijakan Publik Indonesia (MAKPI)
