Transformasi sektor energi Indonesia kini memasuki babak baru. Pemerintah tengah menegaskan komitmen untuk tidak lagi sekadar mengekspor bahan mentah, tetapi mengolah sumber daya alam menjadi produk bernilai tinggi. Arah kebijakan ini mencerminkan tekad kuat menuju kemandirian energi dan ekonomi, dengan fokus pada pengembangan kilang dan industri petrokimia.
Langkah ini bukan hanya tentang menjaga ketahanan energi nasional, tetapi juga memperluas rantai nilai industri dalam negeri, membuka lapangan kerja, serta mendorong investasi strategis jangka panjang. Dengan hilirisasi, Indonesia tidak hanya memanfaatkan sumber daya alam, tapi juga menciptakan daya saing baru di pasar global.
Kilang & Hilirisasi Jadi Strategi Pemerintah Jaga Ketahanan Energi
Pemerintah Indonesia terus berupaya menjaga ketahanan energi nasional. Berbagai strategi dijalankan, salah satunya melalui transformasi kilang ke arah hilirisasi dan petrokimia.
Strategi tersebut diperkirakan akan menciptakan produk bernilai tinggi di dalam negeri karena tidak hanya sebatas mengolah minyak mentah.
“Kami melihat migas ini strategis. Selain berbicara ketahanan energi, kita juga bicara penetrasi kita ke dalam industri petrokimia,” kata Wakil Menteri Investasi dan Hilirisasi/Wakil Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal, Todotua Pasaribu, dikutip dari Antara, Jumat (7/11/2025).
Todotua menjelaskan bahwa sebagian besar bahan petrokimia berasal dari minyak dan gas bumi. Salah satu sektor yang memiliki keterkaitan erat adalah industri pupuk yang bahan bakunya berasal dari amonia.
“Amonia kan dari gas, dan turunan-turunan produk metanol dan lain-lain,” jelasnya.
Ia mendorong agar investasi yang masuk ke Indonesia berkontribusi terhadap program hilirisasi sehingga mampu menghadirkan produk yang berdaya saing tinggi. Realisasi investasi kuartal II 2025 mencapai Rp475 triliun, lebih tinggi dibanding kuartal I sebesar Rp465 triliun.
“Inilah memang yang harus kami atur sama-sama, sehingga nanti dalam penetrasi ke industri hilirisasinya, produk-produk turunannya sudah bisa punya daya saing,” ungkap Todotua.
21 Proyek Hilirisasi Energi Senilai US$45 Miliar
Sementara itu, Menteri ESDM Bahlil Lahadalia mengatakan pemerintah telah menetapkan sekitar 21 proyek hilirisasi dengan nilai investasi sekitar US$45 miliar.
“Kami paparkan kurang lebih sekitar 21 proyek pada tahap pertama yang total investasinya kurang lebih sekitar US$45 miliar dan tadi kita sudah melakukan pembahasan secara detail, termasuk di dalamnya nama-nama proyek investasi apa saja yang akan kita lakukan,” kata Bahlil.
Ia menjelaskan bahwa beberapa proyek fokus pada pembangunan kilang penyimpanan minyak mentah untuk menambah cadangan energi nasional, serta pembangunan kilang minyak jumbo berkapasitas 500 ribu barel per hari dengan nilai investasi sekitar US$13 miliar – kelak menjadi yang terbesar di Indonesia.
Bahlil menambahkan bahwa pemerintah juga menyiapkan proyek gasifikasi batu bara menjadi dimethyl ether (DME), yang akan menjadi substitusi gas LPG impor.
“Kita juga akan bangun DME yang berbahan baku batu bara low calories sebagai substitusi daripada LPG. Ini kita akan lakukan agar produknya bisa dipasarkan dalam negeri sebagai substitusi impor,” ungkapnya.
Ia juga mengonfirmasi rencana pembangunan kilang modular berkapasitas 1 juta barel di 17 titik sebagai implementasi arahan Presiden Prabowo Subianto untuk memperkuat ketahanan energi nasional.
“Pak Presiden memberikan arahan kepada kami untuk membangun kilang 1 juta barel untuk meningkatkan ketahanan energi nasional kita,” jelas Bahlil.
Menko Perekonomian Airlangga Hartarto menambahkan bahwa proyek tersebut masih menunggu kesepakatan tarif dagang dengan Amerika Serikat sebelum dapat dimulai.
“Tahun ini harapannya,” ujar Airlangga.
Peta Jalan Kilang Pertamina dan Hilirisasi Petrokimia
PT Pertamina (Persero) menjadi ujung tombak pelaksanaan hilirisasi melalui program Refinery Development Masterplan Program (RDMP) dan pembangunan kilang baru (Grass Root Refinery/GRR).
Sebelumnya saat masih menjabat Vice President Corporate Communication Pertamina, Fadjar Djoko Santoso, menjelaskan bahwa Pertamina kini mengoperasikan enam kilang di berbagai wilayah Indonesia dengan total kapasitas pengolahan 1 juta barel per hari.
“Keenam kilang yang beroperasi saat ini mampu mengolah minyak mentah hingga 1 juta barel per hari, dan menghasilkan berbagai jenis produk, BBM, LPG, Avtur, dan Petrokimia,” kata Fadjar.
Proyek RDMP Balikpapan ditargetkan memulai uji coba unit baru Residual Fuel Catalytic Cracking (RFCC) pada 2025, yang akan menaikkan total kapasitas menjadi 1,16 juta barel per hari.
“Penyelesaian proyek secara bertahap diharapkan dapat memenuhi kebutuhan energi masyarakat dan mengurangi impor,” kata Fadjar.
Melalui RDMP, kompleksitas kilang Pertamina (Nelson Complexity Index) naik dari 4,1 menjadi 8, menghasilkan BBM setara Euro 5 yang lebih ramah lingkungan.
“Kilang-kilang RDMP dipersiapkan untuk menghasilkan BBM setara Euro 5 dengan kandungan rendah sulfur yang dapat mengurangi emisi karbon,” jelasnya.
Pertamina juga memperkuat lini petrokimia melalui anak usaha seperti PT Trans-Pacific Petrochemical Indotama (TPPI) yang meningkatkan kapasitas produksi aromatik menjadi 780 ribu ton per tahun, serta proyek Pabrik Olefin yang berpotensi menambah pasokan bahan baku plastik hingga 1,6 juta ton per tahun.
“Melalui dukungan anak perusahaan dan afiliasi, Pertamina meyakini langkah ini akan mampu mendorong pertumbuhan industri petrokimia nasional sekaligus mengurangi ketergantungan Indonesia terhadap produk impor,” tutupnya.
Transformasi kilang dan hilirisasi petrokimia bukan sekadar strategi industri, tetapi pilar menuju kemandirian energi dan ekonomi nasional. Dengan kebijakan yang terarah dan sinergi antara pemerintah, BUMN, serta investor, Indonesia tengah menapaki jalur baru menuju masa depan energi yang berdaulat, efisien, dan berkelanjutan.
Dari peningkatan kapasitas kilang hingga pengembangan produk petrokimia bernilai tinggi, langkah ini menjadi bukti bahwa energi Indonesia tidak hanya cukup untuk hari ini, tetapi juga siap menjadi kekuatan bagi generasi mendatang.
