Nurmini, pengusaha ikan asin di Kalibaru, Cilincing, Jakarta Utara, baru pulang dari perjalanan ke Jawa Tengah dan Jawa Timur sejak Minggu (27/4). Namun, begitu tiba di Jakarta pada Rabu (30/4) pagi, dia hanya istirahat sebentar dan langsung sibuk di tokonya sejak tengah hari.
Nurmini merupakan satu dari belasan pedagang ikan asin yang tergabung dalam Klaster Ikan Asin program ‘Klusterku Hidupku’ BRI. Nurmini sendiri sudah lama menjadi nasabah BRI, sampai-sampai dia lupa sejak kapan ketika ditanya.
“Pokoknya saya dapat pinjaman itu pas almarhum suami masih ada. Pertama Rp 100 juta, lalu baru setahun sudah ditawari lagi. Rp 150 juta. Lalu sekarang Rp 200 juta, baru berjalan sejak Maret lalu,” kata Nurmini ditemui detikcom di tengah-tengah kesibukannya, Rabu (30/4/2025) sore.
Dibanding toko-toko ikan asin lainnya di sepanjang Jalan Kalibaru Barat IIA itu, Nurmini mengaku tokonya termasuk kecil. Dalam sehari, omzetnya berkisar Rp 10-15 juta. Kadang lebih sampai Rp 20 juta kalau ramai. Berbeda dengan toko-toko lain yang perputaran uangnya bisa sampai ratusan juta, bahkan Rp 1 miliar.
“Makanya kalau di sini mungkin nggak ambil KUR,” tuturnya.
Usaha ikan ini sebelumnya merupakan milik almarhum suaminya. Semenjak sang suami berpulang, Nurmini meneruskannya sendiri. Sesekali dibantu anak perempuannya, Asti, jika dia bepergian ke luar kota seperti kemarin. Ada juga karyawan yang kerap berjaga di toko dan gudang yang jaraknya hanya sekitar beberapa puluh meter.
Nurmini mengakui usahanya saat ini mungkin tidak sebesar ketika masih dijalankan oleh mendiang suaminya. Nurmini sendiri baru mulai terlibat usaha ikan asin sejak 2008, setelah dia pindah dari Solo dan ikut suaminya yang sudah lebih dulu punya toko ikan asin di Kalibaru.
“Dulu semua ikan masuk sini sewaktu suami saya masih ada kirim-kirim ke luar Jawa. Ada yang ke Kalimantan, ke Jambi, Lampung, Bangka. Berton-ton itu. Duluuu. Sekarang kan suami saya nggak ada. Sekarang lewat online aja,” paparnya.
Jualan online yang dimaksud pun bukan berjualan di marketplace seperti si oranye atau si hijau. Kata Nurmini, ada memang tetangga tokonya yang memanfaatkan marketplace semacam itu. Namun, dia mengaku belum berminat mengikuti jejak tetangganya karena butuh effort besar untuk mengurus pengiriman dari pembelian via marketplace.
“Harus packing-packing, harus membagi seperempat kilo, setengah kilo, satu ons. Saya lewat WhatsApp saja dulu. Kalau ada langganan-langganan pesan, tinggal kirim. Saya sendiri yang kirim,” katanya.
Sehari-hari, Nurmini rutin mengantar dan menawarkan ikan asin ke pasar-pasar. Di antaranya Pasar Warakas, Pasar Nangka di Kemayoran, hingga Pasar Gembrong di Jakarta Pusat. Per hari hanya dua pasar, bergantian tiap harinya.
“Kalau saya sebenarnya cuma ambil ikan yang udah jadi dari pengasin. Istilahnya pengepul,” jelasnya.
Salah satu pengasin yang rutin memasok ikan asin ke toko Nurmini adalah Jena. Sore itu pun Jena datang menawarkan beberapa jenis ikan asin, antara lain ikan beseng-beseng dan ikan teri.
Setiap pagi, Jena mengambil ikan basah dari nelayan. Beratnya berkisar 10 kwintal. Tapi kalau sedang ramai, dia pernah sampai dapat 18 kwintal. Ikan basah itu kemudian direbus selama 2 jam. Lalu sekitar pukul 09.00, Jena menjemur ikan-ikan tersebut selama 6 jam. Makanya, dia baru bisa berkeliling menawarkan ikannya sore-sore.
“Jadi pengasin sudah 20 tahun. Tapi saya nggak main ngeteng (eceran). Langsung sama satu orang,” katanya sambil menunjuk Nurmini.
Jika Nurmini menjalankan usahanya dengan modal pinjaman dari bank, maka Jena lebih suka mengambil pinjaman di koperasi. Dia rutin mengambil pinjaman di PNM Mekaar sebesar Rp 125 ribu seminggu.
Saat ini, Nurmini masih fokus menjalankan tokonya yang terletak tepat di sebelah Musala Nurul Iman Kalibaru Barat ini. Namun, apabila memungkinkan dan modal mencukupi, tidak menutup kemungkinan Nurmini bisa mengirim dagangannya lagi ke pulau-pulau luar Jawa seperti semasa suaminya masih hidup.
“Belum tahu ini nanti jualan online bisa dipegang anak atau nggak. Bisa aja kalau dia mau. Siapa tahu kan dapat pembeli lagi dari luar-luar kota,” katanya.
Antara Tunai, BRImo, dan QRIS
Untuk transaksi, Nurmini mengaku masih lebih banyak menggunakan tunai. Sesekali dia juga memanfaatkan transfer melalui BRImo. Di depan mejanya terpasang QRIS, tetapi Nurmini mengaku jarang menggunakannya.
“Itu sudah punya sejak sebelum gabung klaster. Tapi memang agak jarang, lebih ke transfer lewat BRImo,” jelasnya.
Sepanjang melayani pembeli sore itu pun, tampak Nurmini beberapa kali bertransaksi dengan pelanggan-pelanggannya di pasar-pasar melalui BRImo. Selain praktis, dia juga bisa langsung memantau transaksi secara akurat.
Selain QRIS, di toko Nurmini juga terpasang stiker BRImo di bagian atas pintu gulir. Beberapa toko lain di sekitar juga demikian. Mantri BRI Unit Kalibaru Katarina menyampaikan stiker itu merupakan tanda bahwa toko tersebut telah menjadi bagian dari klaster ikan asin BRI.
“Total anggotanya 11 yang udah terdaftar di sistem. Semuanya sudah jadi nasabah, sudah ada BRImo dan QRIS juga,” jelasnya, Rabu (30/4/2025).
Sebagai mantri, Katarina juga bertugas mensosialisasikan penggunaan QRIS untuk transaksi digital di pasar ikan asin tersebut. Bukan hanya di kalangan pedagang, tetapi juga pembeli.
Terpisah, Manajer Bisnis Mikro (MBM) BRI KC Tanjung Priok Sukma Julianto mengatakan penjualan di klaster ikan asin ini memang masih cukup tradisional. Hanya beberapa yang menggunakan platform e-commerce.
“Tapi sekarang eranya sudah menuju ke sana dengan generasi anak-anaknya. Anaknya menjualkan secara e-commerce, kalau orang tuanya lebih ke penjualan secara tradisional. Transaksinya kita gandeng dengan QRIS ini. Lambat laun perputaran uang secara tunai kita alihkan ke nontunai,” jelasnya kepada detikcom, Selasa (25/3/2025) lalu. mimpi