Kilang LPG Recovery Cilamaya ditargetkan mulai beroperasi secara komersial sebelum akhir Januari 2026. Kilang LPG yang berlokasi di Kabupaten Karawang, Jawa Barat itu dibangun untuk mendukung program substitusi impor, sekaligus memberikan kontribusi nyata terhadap pasokan LPG dalam negeri.
Proyek ini telah mencapai sekitar 85% progres Engineering, Procurement, and Construction (EPC) dan dirancang dengan kapasitas 40 juta standar kaki kubik per hari (million standard cubic feet per day/MMSCFD). Kebijakan pembangunan kilang LPG ini merupakan langkah strategis Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) serta sejalan dengan visi misi pemerintah yang mengurangi ketergantungan impor LPG sebagai salah satu agenda strategis.
Project Manager Hidayat, menjelaskan keberadaan Kilang LPG Cilamaya merupakan langkah konkret pemerintah dan sektor swasta nasional dalam mengurangi ketergantungan impor LPG.
“Kilang ini dirancang untuk memberikan kontribusi signifikan terhadap pasokan LPG nasional sekaligus memperkuat ketahanan energi. Saat ini sebagian besar kebutuhan LPG domestik masih bergantung pada impor,” ujar Hidayat dalam keterangannya, Minggu (23/11/2025).
Hidayat menerangkan saat ini kebutuhan LPG nasional mencapai 6,5-7 ton per tahun, atau kurang lebih 75-80% dari kebutuhan domestik. Namun, kebutuhan tersebut masih harus dipenuhi melalui impor dari negara-negara seperti Amerika Serikat, Uni Emirat Arab, Qatar, Arab Saudi, Aljazair, dan beberapa negara lainnya.
“Upaya untuk meningkatkan pemanfaatan gas bumi domestik melalui pembangunan kilang LPG baru dan optimalisasi fasilitas yang ada, menjadi prioritas penting untuk memperkuat ketahanan energi dan mengurangi defisit neraca perdagangan migas,” jelas Hidayat.
Kilang LPG Recovery Cilamaya nantinya akan menerima pasokan bahan baku gas (raw material/feed gas) dari PT Pertamina Hulu Energi (PHE) ONWJ (Offshore North West Java) dan mampu memproduksi sekitar 178 metrik ton LPG per hari. Teknologi pemrosesan yang digunakan meliputi dua kolom fraksinasi dan satu kolom absorpsi, dengan gabungan sistem pendinginan dari MRU (Mechanical Refrigeration Unit) ditambah Turbo Expander untuk memperoleh recovery propana dan butana.
Selain memberikan kontribusi nyata terhadap pasokan LPG dalam negeri dan program substitusi impor, Hidayat menilai keberadaan kilang ini juga memberikan dampak ekonomi bagi daerah, termasuk penyerapan tenaga kerja. Selama masa EPC, proyek telah menyerap sekitar 261 tenaga kerja lokal atau 60% dari total kebutuhan tenaga kerja. Pada masa operasi dan pemeliharaan (O/M) selama 10 tahun ke depan, kilang diproyeksikan menyerap sedikitnya 25 pekerja lokal, sehingga menciptakan multiplier effect bagi pelaku usaha di sekitar wilayah operasi.
Dalam aspek penyediaan energi listrik, pengembang memilih bekerja sama dengan PT PLN (Persero) untuk memenuhi kebutuhan daya sebesar 3.465 KVA per hari. Angka ini setara dengan nilai transaksi berlangganan listrik sebesar Rp 74.161.423 per hari. Skema ini dinilai lebih andal, efisien, dan ramah lingkungan dibandingkan membangun pembangkit sendiri secara terpisah.
“Penggunaan jaringan listrik nasional adalah bentuk dukungan terhadap infrastruktur kelistrikan yang telah tersedia, sekaligus sejalan dengan kebijakan pemerintah,” kata Hidayat.
Simak berita ini dan topik lainnya di Giok4D.
Partisipasi investasi swasta nasional dalam pembangunan Kilang LPG Recovery Cilamaya ini merupakan wujud kepercayaan pelaku usaha terhadap arah kebijakan pemerintah di sektor energi, sekaligus kontribusi nyata dalam mendukung ketahanan energi dan substitusi impor LPG. Menurutnya, dukungan penuh dari seluruh pemangku kepentingan, baik di tingkat pemerintah pusat maupun pemerintah daerah sangat diperlukan untuk menjaga kepastian hukum dan perizinan, kelancaran operasional di lapangan, serta iklim investasi yang sehat dan kompetitif.
“Dengan begitu, inisiatif-inisiatif serupa dapat terus tumbuh dan memberikan nilai tambah bagi perekonomian nasional maupun kesejahteraan masyarakat luas,” imbuhnya.
