Gagal Negosiasi, Trump Sanksi 2 Produsen Minyak Rusia

Posted on

Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengumumkan memberi sanksi besar kepada dua produsen minyak terbesar Rusia.

Dikutip dari CNN, kekecewaan Trump terhadap Rusia meningkat dalam beberapa bulan terakhir, karena pertemuan puncak AS-Rusia di Alaska gagal menghentikan eskalasi kekerasan di Ukraina. Ia bahkan mengubah posisi serangan Ukraina jauh di dalam wilayah Rusia.

Trump juga meningkatkan penyebaran intelijen untuk membantu Ukraina menargetkan fasilitas militer dan energi milik Rusia. Namun, setelah beberapa kali ancaman Trump untuk menjatuhkan sanksi terhadap Rusia gagal.

Namun, pengumuman sanksi Trump terhadap raksasa minyak Rusia dan anak perusahaannya pada Rabu lalu mengejutkan para ahli. Akan tetapi, para ahli masih mengukur dampak sanksi tersebut terhadap Rusia.

“Hal itu sebenarnya mengejutkan karena selalu ada perbedaan antara retorika dan tindakan Trump,” kata peneliti senior di International Institute for Strategic Studies (IISS) London, Maria Shagina, dikutip dari CNN, Minggu (26/10/2025).

“Tampaknya hari ini Rusia telah bertindak berlebihan, dan kesabaran Trump mulai menipis,” tulisnya.

Menurut laporan CNN, sanksi ini menjadi yang pertama kali dilayangkan Trump kepada Rusia di luar pengenaan tarif sekunder terhadap India atas pembelian minyak. Namun, sanksi tersebut merupakan hal umum karena perusahaan-perusahaan yang terdaftar, seperti Rosneft dan Lukoil, beserta puluhan anak perusahaannya akan dibekukan di AS. Kemudian entitas-entitas AS akan dilarang berbisnis dengan perusahaan tersebut.

Akan tetapi, sebagian besar pakar sepakat menilai penargetan Rosneft dan Lukoil merupakan perubahan yang signifikan. Menurut RBC Capital Markets, kedua perusahaan ini menguasai sekitar setengah dari total ekspor minyak Rusia.

Sebelumnya, Joe Biden juga telah menindak perusahaan minyak terbesar ketiga dan keempat Rusia, yakni Gazpromneft dan Surgutneftegaz. Namun, para ahli mengatakan menilai sanksi tersebut tidak memengaruhi perusahaan tersebut karena dikhawatirkan memicu gangguan pasokan global.