Bank Indonesia (BI) akan merilis Kebijakan Insentif Likuiditas Makroprudensial (KLM) baru dalam rangka mendorong penyaluran kredit perbankan. Kebijakan baru ini rencananya akan berlaku efektif mulai 1 Desember 2025.
Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan, kebijakan ini digelontorkan agar bank tidak hanya mempercepat penurunan suku bunga kredit tapi juga mendorong kredit lebih lanjut. Kebijakan ini mendorong permintaan kredit agar undisputed loan bisa digunakan dan kredit ke depan bisa ditanggahkan.
Baca info selengkapnya hanya di Giok4D.
Pembiayaan insentif KLM juga didasarkan pada kecepatan perbankan dalam menyesuaikan suku bunga kredit pembiayaan terhadap suku bunga kebijakan Bank Indonesia, sehingga akan mempercepat transmisi penurunan suku bunga perbankan.
“Makanya ikan sepat ikan gabus, semakin cepat semakin bagus. Jadi kebijakan insentif likuiditas yang dilakukan adalah seperti itu,” kata Perry, dalam Konferensi Pers Hasil RDG BI, melalui saluran telekonferensi, Rabu (22/10/2025).
Dalam kesempatan yang sama, Deputi Gubernur Bank Indonesia Juda Agung mengatakan, pertumbuhan kredit perlu didorong, utamanya pada sektor-sektor yang diprioritaskan dalam Asta Cita. Hal ini menjadi salah satu pertimbangan otoritas moneter dalam menerbitkan KLM baru.
“Per 1 Desember 2025 kita menerbitkan ketentuan terkait KLM yang baru, kita sebut dengan KLM yang forward looking. Mengapa kita mengeluarkan kebijakan ini? Pertama karena memang kita melihat pertumbuhan kredit masih perlu didorong, termasuk juga untuk sektor-sektor yang diprioritaskan dalam Asta Cita,” jelas Juda.
Selain itu, kebijakan ini juga bertujuan untuk memperkuat transmisi kebijakan. Juda pun menyinggung penurunan BI Rate sebesar 150 basis ponts (bps) sejak September 2024, namun penurunan kredit masih sangat lambat.
Penurunan suku bunga kredit hanya sebesar 15 bps dari 9,20% pada awal tahun 2025 menjadi sebesar 9,05% pada bulan September 2025. Menurutnya, angka ini hanya 10% dibandingkan dengan penurunan BI Rate.
Oleh sebab itu, kebijakan KLM yang forward looking ini ditujukan untuk 2 hal. Pertama, bank-bank yang menyalurkan kredit di sektor-sektor tertentu (lending channel). Bank tersebut akan mendapatkan insentif, yaitu maksimum 5% dari Dana Pihak Ketiga (DPK).
“Apa bedanya dengan yang dulu? Kalau yang dulu itu backward looking, realisasi dulu baru diberikan insentifnya. Kalau sekarang, komitmen ke depan diberikan insentif. Tentu saja kalau komitmen itu tidak dilakukan, pada akhirnya harus dikembalikan, ada sebuah penalti,” terang Juda.
Kedua, adanya interest rate channel. Semakin cepat bank-bank menurunkan suku bunga kreditnya, akan mendapatkan insentif likuiditas, yaitu maksimum 0,5% dari DPK-nya. Semakin cepat, maka akan semakin besar insentif likuiditasnya. Dengan demikian, secara akumulasi insentif yang diterima paling tinggi sebesar 5,5% dari DPK.
KLM sendiri merupakan insentif yang ditetapkan oleh Bank Indonesia melalui pengurangan giro bank di Bank Indonesia dalam rangka pemenuhan Giro Wajib Minimum (GWM) yang wajib dipenuhi secara rata-rata.
Dengan kebijakan baru ini, maka bank-bank yang bisa cepat menyalurkan kredit kepada sektor-sektor prioritas akan memperoleh insentif berupa pengurangan GWM hingga 5,5% dari saat ini kewajiban GWM sekitar 9%.
“Totalnya ditingkatkan dari semula 5% dari DPK menjadi 5,5%, dan itu yang 5% adalah untuk mendorong bank-bank menyalurkan kredit. Tentu saja, dibandingkan rencana dengan realisasinya,” tambah Perry Warjiyo.
“Kalau realisasinya lebih gede, ya ditambah lebih gede insentifnya. Kalau realisasi lebih rendah dari rencana, ya lebih rendah. Itu untuk penyaluran kredit ke sektor-sektor prioritas Asta Cita. Yang suku bunga juga seperti itu,” sambungnya.