Usul Pembiayaan Koperasi Desa Merah Putih Biar Nggak Bebani APBN

Posted on

Pemerintah menargetkan pembentukan lebih dari 80.000 Koperasi Desa/Kelurahan (Kopdeskel) Merah Putih. Dalam pelaksanaannya, program ini diperkirakan membutuhkan pendanaan jumbo hingga Rp 400 triliun yang akan didukung dari APBN hingga pinjaman dari Himpunan Bank Milik Negara (Himbara).

Peneliti dari Center of Economic and Law Studies (Celios) Jaya Darmawan mengatakan pada dasarnya usaha koperasi membutuhkan pendanaan yang stabil dan berkelanjutan sama seperti banyak entitas usaha lainnya.

Namun berbeda dengan modal usaha lainnya, koperasi menempatkan kolektivitas, inklusivitas, dan kemandirian anggota sebagai prinsip utama. Alhasil, proses pembentukannya juga dibutuhkan bauran sumber dana lain.

Jaya berpendapat skema pendanaan yang ideal bagi koperasi adalah blended finance alias kombinasi seimbang antara sumber daya internal dan eksternal, sehingga menekan ketergantungan pada satu sumber pendanaan tunggal.

Pembiayaan koperasi yang lebih inklusif. Nah pembiayaan yang lebih inklusif ini memiliki makna yang lebih spesifik menurut kami adalah blended finance,” ujar Jaya dalam acara Diseminasi Riset Celios terkait Koperasi Desa Merah Putih, Rabu (4/6/2025).

Misalkan saja, untuk pembiayaan eksternal dapat menggunakan investasi swasta, dana sosial dan filantropi, atau pembiayaan dari pihak ketiga lainnya. Sedangkan untuk pembiayaan internal dapat menggunakan skema pembiayaan berdasarkan partisipasi anggota hingga pembiayaan berdasarkan aset bersama.

Sebagai contoh untuk model dana internal kontribusi anggota menjadi sumber dan inisiatif utama. Dengan simulasi jumlah anggota sebanyak 100 orang dan masing-masing anggota memberikan modal awal sebesar Rp 1.000.000 serta iuran rutin per bulan sebesar Rp 100.000, skema ini dapat menghasilkan kontribusi tetap sebesar Rp 10.000.000 per bulan.

“Dengan asumsi koperasi diproyeksi memperoleh laba tahunan dari penjualan produk sebesar Rp 500 juta. Sebanyak 30% dari laba sebesar Rp 150 juta per tahun atau Rp 12,5 juta per bulan dialokasikan untuk modal kerja dan investasi berkelanjutan,” jelas Jaya

Lebih lanjut setelah koperasi memiliki dana internal, sisa pembiayaan dapat diperoleh dari pihak eksternal termasuk pinjaman bank.

Namun karena menggunakan model blended finance, besaran pinjaman yang dibutuhkan semakin kecil sehingga tidak membebani perbankan ataupun koperasi ke depan

“Koperasi bisa mengakses pinjaman bank sebesar Rp 200 juta dengan bunga 5% per tahun, sehingga angsuran tetap sekitar Rp 3.773.907 per bulan selama lima tahun,” terangnya.

Atau selain itu, koperasi bisa mendapatkan suntikan dana dari investor sosial yang tidak mengharapkan keuntungan finansial. Suntikan dana sosial ini biasanya tidak begitu besar atau sangat terbatas, skema blended finance tadi menjadi lebih cocok karena sisa kebutuhan dana dapat dipenuhi secara internal.

Contoh lain yang terakhir untuk pendanaan eksternal, koperasi dapat memanfaatkan hibah pemerintah dan pinjaman bersubsidi. Meski kedua sumber dana ini biasanya tak besar, dengan tambahan modal internal tadi kebutuhan pembiayaan jadi tercukupi.

“Melalui pendekatan inklusif ini, koperasi tidak hanya mampu mengelola pembiayaan secara sehat, tetapi juga mendorong partisipasi aktif anggotanya, membuka ruang kolaborasi dengan pihak eksternal, dan menjaga kesinambungan usaha,” pungkasnya.