Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) menjadi salah satu kesepakatan tarif antara Indonesia dan Amerika Serikat (AS). Presiden AS Donald Trump menyebut perusahaan-perusahaan AS dan barang asal AS bebas dari persyaratan TKDN.
Kantor Komunikasi Kepresidenan (Presidential Communication Office/PCO) menilai hal tersebut justru dapat membuka investasi yang masuk ke Indonesia semakin deras. Tenaga Ahli Utama Kantor Komunikasi Kepresidenan Fithra Faisal Hastiadi menjelaskan salah satu yang menghambat investasi dan perdagangan, di antaranya kuota impor san TKDN. Menurut dia, investor justru menginginkan agar TKDN tidak terlalu ketat.
“Karena kalau terlalu strict, kalau kita bicara global value chain, itu ada forward sama backward participation. Nah, selama ini Indonesia itu tertinggal dalam konteks backward participation. Karena apa? Karena terlalu tinggi TKDN-nya misalnya, itu salah satu identifikasi di awal. Sehingga pada akhirnya end product-nya menjadi tidak kompetitif,” kata Fithra kepada awak media, saat ditemui di Hotel Pullman Jakarta Pusat, Senin (28/7/2025).
Fithra menilai hal inilah yang membuat produk-produk Indonesia kalah saing dengan produk dari China, bahkan Vietnam. Untuk itu, dia menekankan pentingnya melonggarkan regulasi atau deregulasi.
“Nggak usah jauh-jauh dari China, dari Vietnam. Kenapa? Karena mereka di sisi TKDN-nya nggak terlalu tinggi. Sehingga mereka bisa mendapatkan akses input produksi yang jauh lebih murah. Amerika Serikat, kita, pemerintah, presiden juga sudah menyampaikan bahwa ya memang perlu ada pelonggaran-pelonggaran itu, deregulasi, karena itu memicu inefisiensi,” jelas Fithra.
Dengan pelonggaran TKDN, lanjut Fithra, dapat semakin mendatangkan investasi ke Indonesia. Dengan catatan, kebijakan deregulasi ini berlaku untuk semua produk, baik produk setengah jadi maupun produk jadi.
“Iya, bisa juga (investasi tambah banyak). Karena kan begini, yang penting itu adalah non-discriminatory. Kita tidak hanya bicara intermediate goods, tapi kita juga bicara end goods-nya. Intermediate goods, dia menghasilkan, mendapatkan input dari mana? Ada yang dari luar negeri juga, kan? Nah, ketika itu dipaksakan terlalu tinggi, makanya itu membuat ongkos produksi menjadi lebih mahal,” imbuh Fithra.