Slow Living Jadi Pilihan di Tengah Ekonomi Sulit, Hemat Tanpa Tersiksa

Posted on

Konsep hidup slow living di kalangan masyarakat mulai diminati, apalagi di tengah gempuran tantangan ekonomi dan kondisi global yang serba cepat serta tidak menentu. Konsep ini mengedepankan ritme yang tidak terburu-buru dalam hidup, mengedepankan kesederhanaan, dan mengurangi konsumsi yang berlebihan dengan memikirkan dampak atas langkah yang akan diambil.

Ekonom senior dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Tauhid Ahmad, mengatakan konsep ini cenderung diminati generasi milenial dan generasi Z. Kini, sejumlah kalangan dari generasi tersebut mulai mengamini bahwa uang bukanlah pusat dari segalanya.

Fenomena slow living bisa jadi mengindikasikan adanya pergeseran cara pandang masyarakat terhadap kondisi ekonomi saat ini. Tauhid bilang, dengan adanya situasi tekanan ekonomi yang tinggi, pelaku slow living bisa memanfaatkan konsep ini untuk mengurangi biaya hidup.

“Slow living memang ada dua perspektif. Kalau tekanan ekonomi tinggi, dia bisa memanfaatkan slow living untuk mengurangi cost,” kata Tauhid saat dihubungi detikcom pada Sabtu (26/7/2025).

Menurut Tauhid, kaitan antara konsep slow living dengan kondisi finansial yaitu soal menerapkan keseimbangan dalam hidup. Alias, hidup tidak cuma bicara perkara mengejar fulus saja, tapi juga soal kehidupan sosial dan pribadi.

“Maka biasanya memilih untuk tidak mengejar soal income yang lebih tinggi, tapi keseimbangan yang mereka kejar. Mereka kadang-kadang (beranggapan) ngapain kerja berat sampai malam, tapi mentalnya tertekan. Tidak mengejar target harus menjadi prestasi, yang penting kerjaan beres,” beber Tauhid.

Jika melihat kota-kota besar di negara lain seperti Singapura, Tokyo, dan sebagainya itu hampir bisa dibilang mustahil menerapkan konsep slow living, kata Tauhid. Di kota besar, orang bergerak serba cepat, terburu-buru seperti akan kehabisan waktu, dan manusia layaknya robot.

“Jadi tidak bisa menikmati suasana karena dipaksa untuk mengejar income yang tinggi. Menurut saya, sisi humanisnya ini tidak muncul. Mungkin di kota kita, sebagian besar kenapa happiness-nya tinggi karena kehidupan slow living juga memberikan the way out (jalan keluar) dari tekanan-tekanan ekonomi,” tutup Tauhid.