Slow Living di Jakarta? Siap-siap Kantong Jebol!

Posted on

Konsep slow living bisa jadi eskapisme dari hustle culture yang rentan terjadi di kota besar. Tetapi sayangnya, buat penghuni kota besar layaknya Jakarta, agaknya butuh duit banyak untuk bisa menerapkan konsep slow living.

Ekonom senior dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Tauhid Ahmad, mengatakan bahwa konsep ini cenderung digandrungi oleh kalangan generasi milenial dan generasi Z. Namun, jika mau menerapkan konsep ini, ternyata justru butuh stabilitas finansial yang mumpuni.

“Memang slow living ini dari segi persentase, yang bisa melakukan itu jumlahnya relatif kecil. Secara finansial, mereka itu relatif punya kapasitas. Orang yang mau slow living berarti ‘kan punya income yang relatif tetap,” ujarnya kepada detikcom, Sabtu (26/7/2025).

“Orang yang tidak punya pendapatan tetap, mereka akan mencari sumber, dan sumber itu ‘kan lebih banyak di perkotaan. Jadi, kalau misalnya kita dari desa, sekolah atau kuliah di desa (di luar Pulau Jawa) ‘kan selalu mengejarnya ke Jawa,” tambahnya.

Bisa jadi, kata Tauhid, kondisi hadirnya slow living mengindikasikan adanya pelemahan ekonomi di suatu wilayah. Meskipun secara garis besarnya, konsep slow living dimaknai sebagai mengurangi kebutuhan atau gaya hidup yang terlalu tinggi.

Slow living juga dimaknai untuk mengurangi konsumsi-konsumsi yang tidak perlu. Mengurangi kebutuhan atau gaya hidup yang terlalu tinggi. Jadi, tinggal di pinggiran kota yang bisa dapat semuanya. Misalnya, para pekerja yang sifatnya bisa work from home, atau para pekerja di sektor informal itu lebih punya waktu untuk memanfaatkan slow living,” katanya.

Tauhid bilang, slow living punya sejumlah perspektif. Salah satunya, ketika tekanan ekonomi sedang tinggi, maka slow living bisa dimanfaatkan untuk mengurangi biaya hidup. Tapi, slow living di kota besar justru butuh biaya lebih.

Slow living memang ada dua perspektif. Kalau tekanan ekonomi tinggi, dia bisa memanfaatkan slow living untuk mengurangi cost. Tapi slow living di kota besar biasanya membutuhkan biaya yang tinggi. Misalnya, mereka seringkali nongkrong di kafe itu kan butuh uang. Kemudian harus ke tempat gym, atau tempat olahraga yang tidak murah juga. Nah, itu yang di kota besar yang tidak disiapkan,” tutupnya.