Sekretariat Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tengah bersiap untuk melakukan efisiensi sebesar 20% atau sekitar US$ 3,7 miliar. Langkah ini diproyeksikan akan berdampak pada aksi pemutusan hubungan pekerjaan (PHK) terhadap 6.900 pekerja.
Informasi tersebut dibagikan perusahaan melalui memo internal kepada karyawan. PBB juga meminta seluruh unit untuk menyampaikan rincian rencana efisiensi paling lambat 13 Juni 2025.
Sebagaimana dilansir dari Reuters, Sabtu (31/5/2025), efisiensi akan berlaku mulai 1 Januari, awal siklus anggaran berikutnya. Rencana tersebut muncul di tengah krisis keuangan yang sebagian dipicu oleh Amerika Serikat (AS), yang setiap tahun mendanai hampir seperempat dari badan dunia tersebut.
Selain pemotongan bantuan luar negeri AS di bawah Presiden Donald Trump yang telah menguras habis lembaga kemanusiaan PBB, AS sendiri juga memiliki tunggakan dan belum melunasi iuran tahun fiskal saat ini dengan jumlah hampir US$ 1,5 miliar.
Meski tidak menyebutkan secara langsung kegagalan AS membayar utang, penulis memo tersebut, Pengawas PBB Chandramouli Ramanathan, mencatat bahwa langkah efisiensi ini merupakan bagian dari tinjauan yang diluncurkan sejak bulan Maret lalu hang diberi nama UN80.
“Ini adalah upaya ambisius untuk memastikan bahwa PBB sesuai dengan tujuannya untuk mendukung multilateralisme abad ke-21, mengurangi penderitaan manusia, dan membangun kehidupan dan masa depan yang lebih baik untuk semua,” kata Ramanathan.
“Saya mengandalkan kerja sama Anda untuk upaya kolektif ini yang jadwal agresifnya telah diketahui,” sambungnya.
Dalam pengarahan publik kepada diplomat PBB bulan ini, Sekretaris Jenderal Antonio Guterres mengatakan bahwa ia sedang mempertimbangkan perombakan besar-besaran yang akan menggabungkan departemen-departemen utama dan mengalihkan sumber daya ke seluruh dunia.
Ia mengatakan, PBB dapat menggabungkan beberapa lembaga, melakukan pemangkasan, memindahkan staf ke kota-kota yang lebih murah, mengurangi duplikasi, dan menghilangkan birokrasi yang berlebihan.
“Ini adalah masa-masa yang berbahaya, tetapi juga merupakan masa-masa yang penuh peluang dan kewajiban yang besar,” kata Guterres pada 12 Mei lalu.
“Jangan salah, keputusan yang tidak nyaman dan sulit ada di depan mata. Mungkin lebih mudah dan bahkan tergoda untuk mengabaikannya atau menundanya. Namun, jalan itu adalah jalan buntu,” sambungnya.
Kegagalan AS untuk membayar iurannya juga telah menciptakan krisis likuiditas bagi PBB, yang diperburuk oleh keterlambatan pembayaran berulang oleh China. Adapun kedua negara tersebut menyumbang lebih dari 40% pendanaan PBB.
Selain itu, pemerintahan Trump telah menarik ratusan juta dolar dalam bentuk dana diskresioner, yang memaksa penghentian mendadak puluhan program kemanusiaan PBB. Kondisi ini menurut pejabat PBB akan menyebabkan korban jiwa.
Anggaran AS yang diusulkan untuk tahun mendatang, yang harus disetujui oleh Kongres, telah menghilangkan atau secara drastis mengurangi pendanaan untuk beberapa program PBB, termasuk pemeliharaan perdamaian.
Pada bulan April lalu, Tom Fletcher dari Kantor Koordinasi Urusan Kemanusiaan PBB (OCHA) menyampaikan kepada staf bahwa pemotongan dana dari AS akan memaksa lembaganya memangkas 20% staf untuk menutup defisit senilai US$ 58 juta.
“Para diplomat berpikir bahwa Guterres berharap bahwa jika ia menunjukkan akan melakukan pemotongan ini, maka pemerintahan akan melonggarkan ancaman mereka untuk menghentikan pendanaan bagi PBB,” kata Gowan.
“Itu mungkin saja. Ada kemungkinan juga bahwa pemerintahan akan mengantongi pemotongan tersebut dan tidak membuat konsesi apa pun,” sambungnya.