Di tengah ketidakpastian arah kebijakan global dan pertumbuhan ekonomi yang timpang, Asia tetap jadi primadona bagi investor. Dalam paparan market outlook paruh kedua 2025, kawasan ini dinilai menyimpan peluang jangka panjang berkat transformasi digital, inovasi, hingga lokalisasi industri yang terus berjalan.
“Kondisi makro di tahun 2025 telah berkembang secara dramatis hanya dalam tempo enam bulan. Apa yang dimulai sebagai langkah pelonggaran yang tersinkronisasi kini terfragmentasi karena keputusan pemerintah, terutama di AS, memicu efek berantai di perdagangan global dan pasar modal,” ujar Luke Browne, Global Head of Multi-Asset Solutions, Jumat (12/7/2025).
Browne melihat The Fed masih berada di jalur pelonggaran, tetapi skala dan kecepatannya bergantung pada daya tahan pertumbuhan AS dan kondisi pasar tenaga kerja. Di Eropa, pelonggaran sudah mendekati akhir siklus sementara Jepang memasuki paruh kedua siklus investasinya yang mulai melambat. Negara-negara berkembang dengan fundamental kuat dinilai lebih tahan terhadap gejolak perdagangan dan arus modal.
Pasar obligasi Asia tetap menunjukkan performa menarik. Murray Collis, Head of Asia ex-Japan Fixed Income, mengatakan obligasi lokal Asia mendapat sentimen positif dari pelemahan dolar AS, sementara instrumen utang Asia berbasis dolar juga tetap menarik dengan imbal hasil kompetitif.
“Bank sentral AS memutuskan mempertahankan suku bunga di 4,5% pada paruh pertama 2025. Pasar memperkirakan pemangkasan suku bunga akan dimulai semester kedua, menopang pasar pendapatan tetap. Di Asia, ada ruang penurunan suku bunga di Malaysia, Thailand, Indonesia, dan Filipina, yang akan mendorong kinerja obligasi domestik,” jelas Collis.
Collis yakin pasar obligasi Asia berpeluang membukukan kinerja positif hingga akhir tahun, seiring investor kembali memburu aset berbasis dolar maupun mata uang lokal untuk diversifikasi.
Sementara itu, prospek saham Asia juga masih cerah. Charlie Dutton, Head of Emerging Market Equities, melihat banyak pendorong struktural yang menarik perhatian investor, mulai dari tema AI, konsumsi, layanan kesehatan, hingga tren makro seperti disinflasi, sikap dovish bank sentral, serta mesin pertumbuhan China, India, dan ASEAN.
“Di daratan utama China, fokus telah bergeser ke transformasi struktural lewat percepatan AI lokal, belanja fiskal yang lebih besar, dan hubungan perdagangan dengan ASEAN. Meski risiko ekspor tetap ada, pasar China menarik untuk inovasi teknologi, layanan kesehatan, dan konsumsi domestik,” ujarnya.
India dinilai menonjol berkat demografi muda, pemotongan pajak yang mendongkrak konsumsi, dan eksposur ekspor yang kecil terhadap AS. ASEAN juga kian menarik bagi investor asing berkat inflasi rendah, suku bunga turun, serta restrukturisasi rantai pasokan.
“Negara-negara seperti Indonesia, Thailand, dan Malaysia diuntungkan momentum reformasi, populasi muda, dan infrastruktur yang makin membaik. Kami melihat peluang kuat di sektor konsumsi, digitalisasi, dan integrasi regional,” pungkas Dutton.