Pemerintah menggalakkan program waste to energy (WTE) melalui pembangunan fasilitas pembangkit listrik tenaga sampah (PLTSa). Langkah ini dilakukan tak hanya untuk mengatasi permasalahan penumpukan sampah di sejumlah daerah, namun juga bisa ‘menyulap’ barang-barang tak terpakai itu menjadi sumber energi baru.
Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE), Eniya Listiani Dewi, mengatakan dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) tahun 2025-2034, Indonesia berpotensi menghasilkan 452 megawatt (MW) listrik yang bersumber dari pengolahan sampah.
Menurutnya melalui RUPTL ini juga, setiap PLTSa baru nanti bisa langsung terhubung dengan jaringan listrik yang dioperasikan PT PLN (Persero), menciptakan modal bisnis keberlanjutan bagi perusahaan di sektor pengolahan sampah.
“Jadi di RUPTL sampai dengan 10 tahun ke depan itu ada 452 megawatt yang tersebar potensinya di Jawa, Madura, Bali, lalu Sumatra dan Sulawesi. Jadi semua sudah kita akomodir di dalam RUPTL, tinggal on grid dengan PLN tidak masalah,” ucapnya dalam acara Waste to Energy Investment Forum 2025 di Auditorium Menara Bank Mega, Jakarta Selatan, Rabu (19/11/2025).
Lebih lanjut, Eniya mengatakan pengusaha atau investor PLTSa diperkenankan untuk melakukan perjanjian jual beli listrik (PJBL) dengan PLN selama 30 tahun dengan harga tetap yakni Rp 20 sen per kWh, sebelum nantinya fasilitas pembangkit itu diserahkan kepada pemerintah sepenuhnya.
“Jadi pada saat sekarang itu kalau PJBL adalah 30 tahun, ini memang sesuai dengan Permen PJBL yang sudah dikeluarkan bisa sampai 30 tahun. Nah prosesnya tidak lagi nego-negoan dengan PLN, sudah ditetapkan Rp 20 sen,” jelasnya.
Sementara untuk batas waktu penetapan izin PJBL dari Kementerian ESDM hanya membutuhkan waktu 10 hari. Hal ini sesuai dengan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 109 Tahun 2025 tentang Penanganan Sampah Perkotaan Melalui Pengolahan Sampah Menjadi Energi Terbarukan Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan.
“Kalau perizinan sudah ada, PJBL hanya 10 hari. Ditetapkan di Perpres kita batasi 10 hari. Nah setelah itu masuk ke konstruksi, lalu konstruksi ini juga ada sertifikasi laik operasi kemudian. Jadi masuk ke izin usaha pembangkitan listrik untuk umum itu IUPTLU juga langsung dikeluarkan,” terang Eniya.
“Jadi tidak ada lagi nego ke PLN, lalu PLN minta persetujuan ke Menteri ESDM, itu sudah nggak ada. Begitu masuk ke OSS, ini sudah langsung dikeluarkan perizinan tersebut. Jadi kita terobos, ini belum pernah ada sebetulnya konsep ini. Jadi baru dengan Perpres ini model penjualan tenaga listriknya seperti itu, jadi sangat mudah,” jelasnya lagi.
