Sejumlah pasal dalam PP 28/2024, seperti pembatasan kandungan gula, garam, lemak (GGL) serta pembatasan zona penjualan dan iklan rokok, dapat mengganggu keberlangsungan industri, ekonomi, hingga lapangan pekerjaan. Ketua Umum Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA), Yadi Sofyan Noor, menyoroti kerugian yang akan dihadapi industri hasil tembakau akibat PP 28/2024. Ia mengatakan, kebijakan tersebut berpotensi menurunkan pendapatan industri tembakau dan menyebabkan efek negatif berantai hingga ke petani. “Efeknya akan mengurangi serapan tembakau, karena pabrik akan menurunkan produksinya. Tindakan ini dapat disebut sebagai upaya yang merugikan para petani tembakau, mirip dengan kebijakan kenaikan tarif cukai hasil tembakau (CHT) sebelumnya. Kenaikan tarif CHT maupun aturan-aturan restriktif seperti ini memberikan efek merugikan ke petani,” kata dia dalam keterangannya, ditulis Minggu (4/5/2025). Yadi menjelaskan bahwa industri hasil tembakau adalah satu-satunya penyerap hasil panen tembakau petani dalam jumlah besar. Setiap petani tembakau biasanya memiliki hubungan dengan pabrik, sehingga mendapatkan informasi tentang kapasitas penyerapan tembakau.
Ketika kebijakan tidak tepat sasaran diterapkan, penjualan rokok bisa menurun, berdampak langsung pada penyerapan tembakau petani.
“Ini akan berdampak pada perekonomian secara keseluruhan. Petani berada di hulu, perusahaan di hilir, dan ini pasti berimbas juga,” jelasnya.
Yadi menambahkan bahwa industri hasil tembakau memiliki ruang lingkup yang luas dan saling berkaitan. Regulasi yang dikeluarkan akan saling memberikan dampak satu sama lain. “Kebijakan ini terlihat tidak menyasar petani, melainkan produsen. Namun, efeknya akan dirasakan oleh petani tembakau. Pemerintah harus mempertimbangkan dampak luas dari kebijakan tersebut, bukan hanya fokus pada regulasinya,” tambahnya.
Kondisi ini mengkhawatirkan bagi kesejahteraan petani tembakau yang selama ini menjadi penopang perekonomian nasional. Menanam tembakau bagi beberapa daerah menjadi mata pencaharian yang menguntungkan dan mendukung penghidupan petani. Menurut Yadi, saat musim kemarau panjang, beberapa daerah bahkan mengganti lahan persawahan menjadi media tanam tembakau untuk menyelamatkan perekonomian keluarga.
“Dengan kondisi ini, kebijakan yang menekan seperti PP 28/2024 akan mempersulit pendapatan dan otomatis merugikan petani,” katanya. Lebih lanjut, Yadi berharap agar pemerintah dapat memberikan perlindungan bagi petani tembakau, bukan justru mendorong kebijakan yang merugikan.
Kebijakan PP 28/2024 disinyalir sebagai hasil dorongan dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang menerima aliran dana dari LSM internasional dengan tujuan untuk mematikan industri tembakau nasional. Oleh karena itu, kesejahteraan petani perlu diperhatikan melalui kebijakan yang mendukung penghidupan mereka, baik secara langsung maupun tidak langsung. Hal ini sejalan dengan janji Presiden Prabowo Subianto untuk mensejahterakan petani nasional.
(kil/kil)