Petani kelapa merasakan dampak lonjakan harga kelapa saat ini setelah puluhan tahun terlalu murah, bahkan anjlok kalah dengan minyak kelapa sawit. Saat ini harga kelapa naik ke kisaran Rp 6.400-Rp6.800/kilogram (kg)
Kenaikan itu membuat ekonomi petani kelapa menggeliat lagi. Tak hanya dari sisi pendapatan, tetapi menurunkan angka alih fungsi lahan kelapa menjadi komoditas lainnya.
“Sejak era 1990-an, minyak kelapa perlahan tergantikan oleh minyak sawit. Harga kelapa anjlok dan bertahan di Rp 1.000-Rp 1.500/kg selama lebih dari 10 tahun. Pemerintah dan industri diam saja saat petani kelapa menjerit. Kini ketika harga membaik, tiba-tiba semua panik,” kata Ketua Perpekindo (Perhimpunan Petani Kelapa Indonesia) Muhaemin Tallo, dalam keterangannya, dikutip Rabu (30/4/2025).
“Di Maluku, Sulawesi, dan Sumatera, banyak lahan kelapa yang kini jadi perkebunan sawit atau tambang. Data Kementerian Pertanian menunjukkan luas areal tanam kelapa turun dari 3,9 juta hektar (1990) menjadi 3,2 juta hektar (2024),” papar Muhaemin.
Dia menegaskan, kenaikan harga justru memicu geliat positif di tingkat petani. Terutama ekspor yang membuat petani mendapatkan insentif untuk melakukan penanaman ulang, sehingga perputaran ekonomi petani kelapa meningkat.
“Ekspor memberi insentif bagi petani untuk melakukan replanting (penanaman ulang) dan perawatan kebun. Ini momentum mengembalikan kejayaan kelapa Indonesia,” terangnya.
Untuk itu, petani kelapa meminta agar usulan moratorium (penghentian sementara) ekspor kelapa selama enam bulan, tidak dilakukan. Perpekindo menolak keras terhadap wacana tersebut. Muhaemin mengatakan jika industri mengalami kekurangan kelapa, kenapa tidak membeli dari dalam negeri dan melakukan kemitraan.
“Industri mengklaim kekurangan bahan baku akibat ekspor, tetapi petani menilai masalahnya terletak pada tata kelola hulu-hilir yang tidak pro-petani. Jika industri kekurangan bahan baku, mengapa tidak membangun kemitraan dengan petani? Selama ini, mereka membeli kelapa dengan harga murah, lalu menjual produk olahan dengan margin tinggi. Ini bukan solusi, tapi eksploitasi,” tuturnya.
Perpekindo juga mengharap pemerintah untuk memberikan perhatian kepada petani kelapa. Selain itu, diharapkan pemerintah tidak mengabulkan moratorium ekspor, kemudian dapat memperkuat industri hilir kelapa dalam negeri tanpa menekan harga di tingkat petani, menyediakan skema pendanaan replanting untuk meningkatkan produktivitas kebun tua, serta menghentikan alih fungsi lahan kelapa dengan insentif fiskal bagi petani.
“Kami petani kelapa sudah menderita puluhan tahun. Jangan kembalikan kami ke masa kelam itu. Beri kami hak untuk sejahtera,” pungkas Muhaemin.