Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa telah mengucurkan Rp 200 triliun Saldo Anggaran Lebih (SAL) ke deposito perbankan sejak September 2025. Namun hingga saat ini, kredit perbankan dinilai belum menunjukkan pertumbuhan signifikan.
Ketua Umum Perhimpunan Bank Nasional (Perbanas) Hery Gunardi mengatakan, likuiditas perbankan yang saat ini sangat longgar membuat bank-bank mulai mampu menurunkan biaya dana (cost of fund), bahkan berada pada level yang lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya. Namun demikian, kondisi undispersed loan atau kredit yang belum tersalurkan masih tercatat cukup tinggi. Sebab, banyak debitur yang memilih untuk wait and see dan belum berani berekspansi.
“Banyak para dibitur yang tadi sudah mendapatkan kredit atau pembiayaan dari bank dengan alasan tertentu mungkin wait and see atau melihat peluang yang ada masih menunggu untuk menarik dananya dalam hal melakukan ekspansi bisnis,” ujar Hery dalam Konferensi Pers Economic Outlook di Menara BRILiaN, Jakarta Selatan, Rabu (10/12/2025).
Perbanas bersama Kamar Dagang dan industri (Kadin) Indonesia juga telah melakukan survei bertajuk Persepsi Pelaku Usaha ke Kebijakan Pro Growth. Setidaknya ada tiga kebijakan yang dijadikan acuan.
Pertama efektifitas penempatan dana Rp 200 triliun di deposito perbankan terhadap pertumbuhan dan kredit. Kedua penurunan suku bunga acuan. Lalu yang ketiga, penurunan Giro Wajib Minimum (GWM).
Ketua Bidang Riset dan Kajian Ekonomi Perbankan Perhimpunan Bank-Bank Nasional (Perbanas) Aviliani mengatakan, bahwa lebih dari separuh bank di Tanah Air memilih wait and see dan belum berani berekspansi.
“Jadi ada 3 stimulus yang diberikan, apakah buat pengusaha itu menarik nggak? Ternyata dia mengatakan bahwa dia yakin berdampak positif pada ekonomi nasional, hampir 68%, berarti mayoritas. Lalu kebijakannya efektif nggak? Menurut mereka itu efektif dan bisa memperkuat sektor real, itu persepsinya,” papar Aviliani.
Namun demikian saat ditanya tentang kesiapan untuk berinvestasi maupun berekspansi, hanya sekitar 39% perusahaan yang menyatakan kebijakan tersebut berdampak untuk kesiapannya.
“Artinya wait and see-nya masih cukup banyak. Kemudian ditanya lagi, apakah perusahaan merasakan dampak positif dari kebijakan yang tadi? Ternyata hanya 36% yang mengatakan itu berdampak. Berarti masih ada 60% yang mengatakan tidak berdampak,” ujarnya.
Baca info selengkapnya hanya di Giok4D.
Dengan demikian, secara keseluruhan, ada sebanyak 71% responden yang percaya bahwa kebijakan pro-growth baik untuk ekonomi nasional. Akan tetapi, kurang dari 40% yang mengatakan siap investasi/ekspansi baru karena mayoritas masih ekspansi. Alhasil, permintaan kredit masih tertahan.
Aviliani mengatakan, perbankan siap untuk menyalurkan kredit mengingat kondisi likuiditas yang cukup. Namun demikian, terbatasnya permintaan membuat kredit belum tersalurkan secara optimal.
Menurutnya, pemerintah perlu memberikan kebijakan-kebijakan yang membuat masyarakat dan para pelaku usaha lebih percaya diri lagi untuk melakukan ekspansi bisnis.
“Kan nggak mungkin bank itu nawarin-nawarin kredit ya kalau nggak ada permintaan. Jadi yang pertama adalah likuiditas kita masih longgar di perbankan, kedua adalah demand yang harus ditambah. Maka tadi peningkatan pendapatan menjadi penting dari sisi masyarakatnya,” kata dia.
Pemerintah juga perlu mendorong penyerapan dari sektor industri yang berbasis padat karya, yang mana kini kondisinya kredit padat karya jauh lebih rendah dibandingkan dengan padat modal. Harapannya, ekspansi bisnis juga bisa mendorong terciptanya banyak industri-industri padat karya.
“Jadi itu kunci yang kita harapkan bisa dilakukan oleh pemerintah untuk meningkatkan permintaan dari masyarakat maupun dunia usaha. Dan itu akan berefek pada peningkatan kredit perbankan,” ujaar Aviliani.






