Selat Hormuz sedang menjadi perbicaraan banyak orang setelah Amerika Serikat (AS) membantu Israel dengan menyerang sejumlah situs nuklir Iran pada beberapa hari lalu. Pasalnya dengan serangan tersebut, Iran berencana melakukan penutupan Selat Hormuz sebagai balasan.
Anggota Presidium Komite Keamanan Nasional Parlemen Iran Behnam Saeedi mengatakan, penutupan Selat Hormuz tersebut akan dilakukan jika objek vital nasional Iran benar-benar terancam.
“Iran memiliki banyak pilihan untuk membalas musuh-musuhnya dan menggunakan pilihan tersebut berdasarkan situasi yang ada. Menutup Selat Hormuz merupakan salah satu opsi potensial bagi Iran,” kata berdasarkan laporan kantor berita semi resmi Mehr, dikutip dari Reuters, Senin (23/6/2025).
Anggota Parlemen Iran lainnya, Ali Yazdikhah juga mengatakan Iran akan terus membuka selat dan teluk selama kepentingan nasional vitalnya tidak terancam.
“Jika AS secara resmi dan operasional memasuki perang untuk mendukung Zionis (Israel), itu adalah hak sah Iran dalam rangka menekan AS dan negara-negara Barat untuk mengganggu kemudahan transit perdagangan minyak mereka,” kata Yazdikhah.
Yazdikhah mengatakan, Iran menahan diri untuk tidak menutup selat tersebut karena semua negara kawasan dan banyak negara lain mendapatkan keuntungan.
“Lebih baik daripada tidak ada negara yang mendukung Israel untuk menghadapi Iran. Musuh-musuh Iran tahu betul bahwa kita punya puluhan cara untuk membuat Selat Hormuz tidak aman dan pilihan ini layak bagi kita,” kata anggota parlemen itu.
Sebagai informasi, Selat Hormuz terletak di antara Oman dan Iran dan merupakan rute ekspor utama bagi produsen Teluk seperti Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Irak, dan Kuwait. Sekitar 20% dari konsumsi minyak harian dunia atau sekitar 18 juta barel melewati Selat Hormuz, yang lebarnya hanya sekitar 33 km (21 mil) pada titik tersempitnya.
Dampak Jika Selat Hormuz Ditutup
Mengutip Euronews, Pakar Intelijen dan keamanan Claude Moniquet mengungkap empat dampak yang akan terjadi jika jalur perdagangan minyak tersebut diblokir. Pertama, harga minyak dunia akan melonjak tajam dan pasokan berkurang.
Kedua, guncangan hebat pada ekonomi dunia karena harga minyak yang meningkat akan berdampak pada angka inflasi. Kenaikan harga dan pasokan yang menurun akibat tersendatnya jalur perdagangan, akan mengganggu jalannya berbagai industri.
Ketiga, terjadi peningkatan tensi perang. Blokade dapat memicu konfrontasi militer yang melibatkan AS, angkatan laut Uni Eropa dan negara-negara Teluk yang berisiko memicu perang regional yang lebih luas.
Keempat, mandeknya perdagangan global dan naiknya biaya transportasi. Gangguan dapat menunda impor bahan baku, elektronik dan barang-barang konsumen Eropa yang mempengaruhi rantai pasok.
Harga Minyak Mentah Dunia Melonjak
Harga minyak melonjak hingga mendekati US$ 80 per barel pada hari ini. Langkah Amerika Serikat (AS) ikut membantu Israel menyerang Iran memicu kekhawatiran pasokan dan mendorong harga minyak terkerek naik. Iran merupakan produsen minyak mentah terbesar ketiga OPEC.
Harga minyak mentah Brent berjangka naik US$ 1,92 atau 2,49% ke level US$ 78,93 per barel. Minyak mentah West Texas Intermediate AS juga naik US$ 1,89 atau 2,56% menjadi US$ 75,73 per barel.
Sedangkan perdagangan lewat kontrak harganya sudah melonjak lebih dari 3% di awal sesi, menjadi US$ 81,40 untuk Brent dan US$ 78,40 untuk WTI AS. Harganya telah menyentuh level tertinggi selama lima bulan. Brent telah naik 13% sejak konflik dimulai pada 13 Juni, sementara WTI telah naik sekitar 10%.
Minyak mentah Brent yang jadi acuan harga dunia sudah mendekati US$ 80 per barel. Asumsi harga minyak dalam APBN 2025 ditetapkan maksimal US$ 82 per barel.
Simak juga Video: Radar Lalu Lintas Kapal-kapal Tanker di Selat Hormuz