Masalah jumlah kapal disebut-sebut menjadi penyebab kemacetan setiap periode Natal dan Tahun Baru (Nataru) serta angkutan Lebaran di lintasan Merak-Bakauheni. Gabungan Pengusaha Nasional Angkutan Sungai, Danau, dan Penyeberangan (Gapasdap) menepis hal tersebut.
Gapasdap menyebut, akar persoalan kemacetan yang hampir selalu terjadi pada setiap event Nataru dan Lebaran di Merak-Bakauheni adalah keterbatasan infrastruktur pelabuhan, khususnya jumlah dan kualitas dermaga. Kondisi tersebut menyebabkan kapal-kapal yang telah memiliki izin operasi tidak dapat dioptimalkan kapasitas muat dan jam operasinya.
Ketua Umum DPP Gapasdap Khoiri Soetomo menyampaikan, berbagai masukan telah berulang kali disampaikan kepada Kementerian Perhubungan maupun Komisi V DPR.
“Masalah di Merak-Bakauheni bukan kekurangan kapal,” katanya dalam keterangan tertulis, Minggu (14/12/2025).
Saat ini terdapat sekitar 70 kapal yang terdaftar dan siap beroperasi di lintasan Merak-Bakauheni. Namun akibat keterbatasan jumlah dermaga, hanya sekitar 28 kapal per hari atau sekitar 30% yang dapat beroperasi. Sisanya terpaksa menganggur dan menunggu giliran jadwal sandar.
Akibat kondisi tersebut, hari operasi kapal per bulan hanya sekitar 11 hari, jauh dari kondisi ideal. Situasi ini sangat tidak sehat bagi dunia usaha dan pada akhirnya menggerus kemampuan operator dalam menjaga standar keselamatan dan kualitas layanan.
“Kapal dipaksa off, tetapi biaya tetap berjalan. BBM untuk mesin standby, kru kapal wajib siaga 24 jam, perawatan kapal, hingga risiko kerusakan akibat kapal lama tidak beroperasi tetap harus ditanggung,” ujarnya.
Pihaknya menegaskan, jika jumlah dermaga mencukupi, maka kapal-kapal yang saat ini tidak beroperasi dapat diaktifkan kembali, sehingga kapasitas angkut dapat meningkat hingga sekitar 150% dibanding kondisi eksisting, tanpa perlu menambah kapal baru.
Selain persoalan kuantitas, kualitas dermaga yang ada juga memerlukan pembenahan serius. Beberapa dermaga di Pelabuhan Merak membutuhkan penambahan dan penguatan breakwater, karena sering terjadi kegagalan sandar akibat gelombang dan arus. Di samping itu, terdapat dolphin dermaga yang roboh dan hingga kini belum diperbaiki, kondisi yang sangat membahayakan keselamatan pelayaran.
Terkait usulan pengoperasian kapal-kapal berkapasitas besar, pihaknya menegaskan bahwa rekayasa operasional tersebut sebenarnya telah diterapkan pada Angkutan Lebaran terakhir dan terbukti berhasil tanpa menimbulkan kemacetan. Namun dalam kondisi operasional harian normal, kehadiran kapal-kapal kecil tetap dibutuhkan, mengingat rata-rata tingkat keterisian hanya sekitar 35%.
Selain itu, kata dia, perlu dipahami bahwa angkutan penyeberangan menggunakan BBM bersubsidi. Penggunaan kapal besar dengan tingkat keterisian rendah justru akan menimbulkan pemborosan BBM dan ketidakefisienan operasional.
“Jika kapal besar dioperasikan dengan tingkat keterisian hanya 35%, maka akan terjadi pemborosan BBM subsidi. Ini tidak sehat secara ekonomi maupun kebijakan energi,” tambah Khoiri.
