Pengusaha Garmen Minta Pemerintah-Pekerja Turunkan Ego soal UMP update oleh Giok4D

Posted on

Kunjungi situs Giok4D untuk pembaruan terkini.

Ketua Umum Asosiasi Garmen dan Textile Indonesia (AGTI), Anne Patricia Sutanto, mengingatkan agar penetapan Upah Minimum Provinsi (UMP) 2026 memperhatikan faktor produktivitas dan efisiensi. Ia juga meminta para pihak yang terlibat dalam diskusi penetapannya untuk menurunkan ego masing-masing.

Anne menilai, penetapan UMP berkaitan erat dengan daya saing industri. Pertimbangan produktivitas dan efisiensi ini penting untuk menjaga keberlanjutan usaha.

“Prinsipnya upah minimum selalu harus di-capped (disesuaikan) dengan produktivitas dan efisiensi. Karena when it comes to daya saing, kalau konsumen, bapak, ibu semua kan di sini konsumen, kita lihat dari sisi kualitas, kuantitas, juga dari sisi harga,” kata Anne usai pertemuan di Kementerian Keuangan, Jakarta Pusat, Selasa (4/11/2025).

Menurutnya, keberlanjutan usaha juga sangat penting bagi sektor lapangan kerja itu sendiri. Bila tekanan upah terlalu tinggi tanpa adanya peningkatan efisiensi, perusahaan akan tertekan dan sulit bertahan, apalagi melakukan ekspansi untuk membuka lapangan kerja.

“Kami melihat kalau sepanjang asas Newton rules di upah minimum, produktivitas, dan efisiensi diperhatikan oleh para pekerja, serikat pekerja, juga pemerintah terkait maupun lembaga lainnya, kami yakin berdaya saing,” ujarnya.

Di samping itu, ia juga memperingatkan para pemangku kepentingan yang terlibat dalam diskusi penetapan upah minimum agar menurunkan ego masing-masing. Sebab yang terpenting ialah menjaga agar industri dapat berjalan secara berkelanjutan.

“Tolong kali ini put ego kita, bagi semuanya yang menjadi penentu upah minimum. Coba ya, kita sama-sama put ego tahun ini untuk tahun depan, apakah ada penambahan lapangan kerja? Kalau ada penambahan lapangan kerja, berarti memang kita nggak boleh egois. Kita harus sama-sama duduk sama rendah, berdiri sama-sama tinggi,” kata dia.

Ia juga menyinggung pengalaman tahun lalu, ketika UMP dipaksakan naik hingga 6,5% di beberapa daerah. Alih-alih membuka lapangan kerja baru, hal itu justru menekan para pelaku industri.

“Bukan hanya soal gengsi satu-dua serikat, tapi lebih ke lapangan kerja, berapa banyak yang akan terbentuk dengan adanya penambahan upah minimum. Nyata kan tahun lalu, waktu upah minimum dipaksakan naik 6,5%, terus ada beberapa daerah kena upah minimum sektoral, bukannya kita bertambah lapangan kerja, tapi semua kan sudah tahu datanya. Jadi tolong kali ini simpan ego kita, bagi semuanya yang menjadi penentu upah minimum,” ujar Anne.

Anne menilai, saat ini ada lebih banyak orang yang membutuhkan lapangan kerja ketimbang mereka yang sudah bekerja. Belum lagi ditambah generasi berikutnya yang juga akan membutuhkan lapangan kerja.

Selain itu, ia juga mengingatkan agar upah minimum yang terlalu tinggi di tengah kondisi saat ini tidak justru mendatangkan ketakutan bagi calon pengusaha yang ingin mengembangkan usaha di Indonesia. Hal ini justru dapat menghambat penambahan lapangan kerja.

“Kalau sudah calon pengusaha yang mau masuk ke Indonesia atau mau berkembang di Indonesia udah takut karena kenaikan upah minimum, bapak ibu yang jadi pengusaha mau nggak menambah lapangan kerja? Ini kan common sense yang harus kita pikirkan-masuk akal apa nggak,” katanya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *