Angka kemiskinan di Indonesia menurut Badan Pusat Statistik (BPS) mengalami penurunan. Tercatat, angka penduduk miskin di Tanah Air ada sebanyak 23,85 juta orang. Angka ini mengalami penurunan 0,2 juta orang dibandingkan dengan September 2024.
Dari sisi persentasenya, jumlah penduduk miskin terhadap total populasi atau total penduduk pada Maret 2025 mencapai 8,47%. Jika dibandingkan dengan September 2024 turun sebesar 0,1%.
Untuk diketahui, penduduk miskin adalah saat pengeluarannya di bawah garis kemiskinan. Adapun garis kemiskinan pada Maret 2025 berdasarkan survei sosial ekonomi nasional (Susenas) sebesar Rp 609.160 per kapita per bulan, atau sebesar Rp 20.305 per hari.
Menanggapi hal ini, ekonom senior dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Tauhid Ahmad, mengatakan standar garis kemiskinan dinilai terlalu rendah. Hal ini berdampak pada angka kemiskinan yang mengalami penurunan.
“Standarnya ini yang saya rasa terlalu rendah, Rp 20 ribu ya, terlalu rendah. Sehingga angka kemiskinannya turun. Karena itu kan nilai nominalnya, harusnya dihitung nilai realnya. Nilai real-nya untuk membeli itu harusnya lebih besar,” ujarnya kepada detikcom, Sabtu (26/7/2025).
Selain itu, Tauhid bilang, parameter kemiskinan di Indonesia dinilai lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara lain. Menurutnya, pengukuran kemiskinan sudah bisa mengadopsi dari Bank Dunia ataupun lembaga lain yang relevan.
“Kalau pengukurannya ya menurut saya ya standarnya harusnya sudah bisa diadopsi sebagian yang dari Bank Dunia, ataupun dari lembaga lain lah. Kalau BPS ‘kan masih menggunakan metode yang lama, sehingga pasti akan turun gitu,” tambahnya.
Tauhid menilai ada pola konsumsi yang berubah yang secara rata-rata terjadi tiap 10 tahun. Kebutuhan makan memang dominan, namun ada kebutuhan lain di luar makanan yang juga perlu disertakan dalam penetapan garis kemiskinan.
“Sekarang orang miskin itu non-makanannya juga cukup tinggi. Sederhananya, orang miskin sekarang rata-rata punya motor juga. Sekarang orang punya motor, mungkin menggunakan metode BPS, mungkin tidak dianggap orang miskin. Tapi sekarang rata-rata tiap keluarga walaupun orang miskin, tetap ada motor,” bebernya.
“Misalnya kebutuhan untuk kendaraan, kebutuhan untuk pulsa dan sebagainya. Itu alat penghitungan yang nanti ujung-ujungnya adalah standar Rp 20 ribu itu jadi tidak layak. Ada non-makanannya yang harusnya sudah bisa diubah. Nah, ini yang tidak berubah sejak 1998,” tutupnya.