Suasana sunyi tanpa pengunjung kini sudah menjadi pemandangan sehari-hari bagi para pedagang di Pertokoan Kranji, Bekasi. Saking sepinya, sejumlah pedagang bahkan sudah bersiap-siap untuk angkat kaki dari kawasan tersebut.
Salah seorang pedagang pakaian, Edi mengatakan kawasan ini dulunya sangatlah ramai hingga ia sendiri kerap kali merasa kewalahan melayani pembeli yang datang. Namun penurunan jumlah pengunjung yang memasuki Pertokoan Kranji ini mulai terjadi sejak layanan e-commerce alias toko online ramai digunakan masyarakat.
Tentu pertumbuhan toko online tak lantas membuat pusat perbelanjaan ini langsung sepi ditinggal pembeli. Sayang tren penurunan jumlah pengunjung ini terus berlanjut, terutama saat pandemi Covid-19 melanda. Dari sejak itu, jumlah orang yang datang ke kawasan pertokoan kian menyusut.
Sayang saat pandemi sudah selesai dan aktivitas masyarakat kembali menggeliat, pusat perbelanjaan ini malah semakin ditinggal. Bahkan menurut Edi, kondisi di Pertokoan Kranji saat ini jauh lebih buruk daripada saat pandemi.
“Itu kan online sudah ada sebelum Covid. Pas masuk Covid, parah banget. Tapi itu masih mendingan. Covid tuh mendingan daripada sekarang. Wah kalau sekarang malah parah, nggak ada pengunjung,” ucap Edi kepada detikcom, Kamis (5/6/2025).
Lebih lanjut ia mengatakan imbas kondisi pertokoan yang semakin sepi, mau tak mau dirinya yang dulu memiliki dua toko di pusat perbelanjaan itu harus menutup salah satu usahanya. Bersamaan dengan itu, ia yang dahulu memiliki empat karyawan untuk menjaga kedua tokonya, kini hanya tersisa satu orang saja.
“Ini sudah tutup satu, di depan. Nggak ada penglaris. Gimana mau gaji karyawan atau apa kan. Sekarang masih ada satu, setiap ada penglaris kita bagi. Tapi ya habisnya paling cuma laku satu, laku dua,” jelasnya.
Karena pendapatan yang sangat tipis serta keperluan untuk membagi hasil penjualan dengan satu karyawannya yang tersisa, tak jarang Edi mengaku pulang dengan tangan hampa. Sehingga mau tak mau ia hanya bisa makan tabungan untuk bisa bertahan.
“Kalau dulu bisa bertahan hidup, kalau sekarang nih laku ntar sampai rumah habis. Ya akhirnya cuma habiskan uang yang ada di rumah kan,” kata Edi.
Bahkan saking sulitnya mencari pelanggan saat ini, Edi sudah berencana untuk segera menutup satu tokonya yang tersisa di Pertokoan Kranji tersebut. Sebab ia merasa sudah benar-benar tak memiliki modal untuk lanjut berusaha lagi. Sejauh ini ia juga masih bingung
“Uang simpanan habis. Ini kayaknya nggak lama lagi, pengunjungnya nggak ada. Mungkin sampai habis kontrak ini. Kontrak sampai bulan pertama tahun depan (Januari 2026). Cuma kalau memang nggak sanggup, ya nggak di paksa,” ucapnya.
“Nggak tahu mau gimana, kita usaha mau cari apa lagi nggak tahu. Kita sudah putar-putar cari mau usaha apa. Kalau nggak usaha kita di sini mau makan apa,” tandas Edi.
Senada, pedagang perabot rumah tangga di Pertokoan Kranji bernama Julia juga mengatakan saat ini kawasan tersebut sudah sangat sepi. Saking sepinya dalam sehari belum tentu ia bisa mendapatkan pelanggan.
“Omzet turun jauh, bisa 80%. Jadi sehari bisa nggak ada pelanggan sama sekali, sepi, ini bisa dilihat kan. Pas pandemi masih mending. Masih lebih mending pandemi. Setelah pandemi makin ke sini malah makin sepi. Paling yang datang cuma langganan saja, itu pun jarang kan,” terangnya lagi.
Untuk bisa bertahan hidup dan melanjutkan usahanya, Julia terpaksa harus mengurangi jumlah karyawan toko. Dari sebelumnya ia mempekerjakan tujuh orang, kini hanya tersisa tiga orang saja.
“Sekarang karyawan masuk kadang dua, kadang tiga. Kalau dulu pasti masuk semua itu tujuh. Mau nggak mau ya sanggup-sanggupin saja, kalau sepi nggak ada pembeli ya kita jadi nombok,” papar Julia.
Beruntung saat ini banyak dagangannya juga sudah dijual secara online. Sehingga meski ia tidak bisa mendapatkan untung dari hasil berjualan, setidaknya ia masih memiliki uang untuk tetap lanjut berusaha meski ‘terengah-engah’.
“Online ada sedikit-sedikit. Buat putaran modal doang, nutup sih nggak. Kalau sekarang sih (penjualan) lebih banyak online ya. Lebih dari setengah, sekitar 80% juga lah itu dari online,” ucapnya.
Namun omzet yang kian menipis ini membuat Julia tak lagi bisa mendapat hasil lebih dari jerit payahnya itu. Karenanya, jika kondisi ini terus berlanjut, maka ia juga tak punya pilihan selain gulung tikar, meski ia sendiri juga tak tahu bisa bertahan sampai kapan.
“Rencana mau tutup. Rencana ya kalau kita nombok-nombok terus kan ini sih kita milih tutup,” tandasnya.