Mengejutkan! Tukang Sayur Jadi Penyelamat Ekonomi RI

Posted on

Pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal II-2025 tercatat sebesar 5,12%. Angka ini termasuk yang tertinggi di G20 dan ASEAN. Tapi siapa yang sebenarnya menopang pertumbuhan ini? Bukan korporasi, bukan gedung-gedung pencakar langit, termasuk konglomerat.

Justru sektor informal, dalam arti paling sederhana, yakni para pelaku ekonomi seperti pedagang kaki lima, buruh harian, tukang sayur, dan warung makan yang menjadi tulang punggungnya.

“Penjualan kendaraan, transaksi kartu kredit, impor barang tahan lama konsumen, semuanya melemah daripada sebelumnya. Tetapi konsumsi masyarakat justru menguat. Jadi saya pikir inilah yang membuat angka PDB tetap kuat pada kuartal Juni,” ujar Chief Economist Indonesia & India HSBC Global Research, Pranjul Bhandari, Jumat kemarin.

Menurut Pranjul, sektor informal menyumbang 60% lapangan kerja dan 55% konsumsi nasional. Artinya, ketika sektor formal yang berisi para pekerja kantoran, bankir, CEO manufaktur dan eksekutif perusahaan besar, masih lesu. Para pelaku ekonomi kecil justru yang lebih menjaga ekonomi tetap hidup.

“Kita melihat bahwa indikator sektor formal masih lemah, misalnya, penjualan mobil, alat rumah tangga, dan barang konsumsi tahan lama menurun. Tapi indikator sektor informal lebih kuat, belanja makanan, minuman, pakaian, dan barang-barang kebutuhan dasar lainnya mengalami peningkatan,” jelasnya.

Kunci pertumbuhan ini ada pada pembelanjaan harian masyarakat kelas bawah dan menengah, yang sensitif terhadap harga dan cepat bereaksi pada perubahan daya beli. Daya beli ini membaik seiring inflasi yang rendah, naiknya hasil pertanian usai El Nino, dan bantuan sosial dari pemerintah.

“Dengan kebijakan fiskal dan moneter yang lebih longgar di 2025, apakah dampaknya sudah mulai terlihat? Menurut saya, ya,” ucap Pranjul.

Ia mencatat bahwa defisit fiskal naik dari 1,6% PDB di 2023 menjadi sekitar 2,8% PDB di 2025, menunjukkan stimulus fiskal yang cukup besar di dua tahun terakhir. Namun, di sisi lain, sektor formal yang seharusnya bisa menjadi penggerak ekonomi jangka panjang masih stagnan. Ini karena korporasi besar masih enggan berinvestasi.

“Bagaimana kita bisa mencapai pertumbuhan PDB yang lebih tinggi dalam beberapa kuartal mendatang atau mungkin beberapa tahun mendatang? Dan menurut saya, yang benar-benar dibutuhkan adalah peningkatan investasi korporasi,” tutur Pranjul.

Ia menyebutkan bahwa saat ini banyak perusahaan lebih memilih menabung daripada berinvestasi. Padahal, investasi korporasi berpotensi memiliki multiplier effect yang besar, menciptakan lapangan kerja berkualitas, meningkatkan kapasitas produksi, hingga mengerek upah.

“Dan ketika kita melihat investasi korporasi, kita menemukan bahwa investasinya tidak terlalu tinggi. Perusahaan-perusahaan (lebih memilih) menabung. Jadi ada banyak tabungan di luar sana, tetapi mereka tidak berinvestasi. Apa yang akan membuat korporasi berinvestasi? Itulah pertanyaan besar yang dihadapi Indonesia,” kata dia.

Dengan kata lain, pertumbuhan ekonomi saat ini bukan ditarik oleh para CEO yang membangun pabrik atau memperluas bisnis. Tapi justru oleh ‘tukang sayur’ yang tetap berjualan di pagi hari, warung madura, ojek online, dan jutaan pekerja informal yang menggerakkan konsumsi dasar masyarakat.