Lembaga Penjamin Polis Asuransi Bisa Bikin Kepercayaan Publik Naik?

Posted on

Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) memastikan Program Penjaminan Polis (PPP) menjadi instrumen untuk melindungi pemegang polis dan memelihara stabilitas sistem keuangan/asuransi. Program ini telah dijalankan beberapa negara seperti Korea Selatan, Kanada, Inggris dan Malaysia.

Anggota Dewan Komisioner Bidang Program Penjaminan Polis LPS, Ferdinan D. Purba, mengatakan PPP ini terbukti dapat meningkatkan kepercayaan publik, mempercepat penanganan asuransi gagal, serta memperkuat stabilitas sektor asuransi.

“Negara-negara tersebut mampu mendorong penguatan manajemen risiko, transparansi, serta tata kelola industri yang lebih baik,” ujarnya dalam keterangan tertulisnya, dikutip Minggu (9/11/2025).

Dia menjelaskan, keberadaan PPP merupakan bagian dari recovery dan resolution framework secara komprehensif untuk menghadapi skenario terburuk dari kegagalan perusahaan asuransi. Program ini juga berperan sebagai bagian dari financial safety net nasional untuk memastikan proses resolusi perusahaan asuransi berjalan dengan efektif.

LPS sendiri berperan penting melalui program penjaminan. Selain itu, LPS juga berperan untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat pada sistem perbankan, yang otomatis mendorong peningkatan dana pihak ketiga (DPK).

“Hal ini terlihat dari rata-rata pertumbuhan dana pihak ketiga yang tumbuh lebih tinggi setelah LPS beroperasi dibanding sebelum LPS beroperasi. Dari sebesar 7,7% sebelum LPS beroperasi meningkat menjadi 15,3% setelah LPS beroperasi,” jelasnya.

Sebagai contoh di Malaysia, adanya PPP asuransi dapat mendorong peningkatan pendapatan premi. Hal ini terlihat dari rata-rata pertumbuhan pendapatan premi yang tumbuh lebih tinggi setelah aktivasi penjaminan polis dibanding sebelumnya, yakni dari 5,5% menjadi 9,7%.

Ferdinan menjelaskan, LPS saat ini sedang mengintensifkan pelaksanaan PPP yang diharapkan diaktivasi sebelum tahun 2028. LPS tengah merumuskan kebijakan pelaksanaan PPP dan kebijakan resolusi perusahaan asuransi dan perusahaan asuransi syariah.

“Apabila prasyarat dapat dicapai sesuai target waktu, perusahaan asuransi jiwa dan asuransi umum perlu bersiap untuk mulai melakukan registrasi kepesertaan PPP pada triwulan III tahun 2026. Faktor penting dalam implementasi PPP ini adalah koordinasi yang erat antara LPS dan OJK, khususnya dalam hal pertukaran data asuransi.” jelasnya.

LPS menargetkan pertukaran data asuransi melalui Sarana Pertukaran Informasi Terintegrasi (SAPIT) antara kedua lembaga dapat go-live di tahun 2025 ini. Adapun, desain PPP di Indonesia yang sedang dirancang LPS saat ini tentunya mengacu kepada best practices dan prinsip dasar yang berlaku secara internasional.

LPS juga menyambut baik proses perubahan Undang-Undang nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK) yang berlangsung saat ini dan menilai sebagai kesempatan untuk memperkuat desain PPP.

LPS juga menerima mandat sebagai Risk Minimizer, yang meningkatkan efektivitas fungsi penjaminan dan resolusi perlindungan pemegang polis dan menjaga stabilitas sektor keuangan/asuransi. Kemudian, cakupan dan nilai maksimum penjaminan PPP perlu dibatasi untuk meminimalisir biaya penanganan perusahaan asuransi dan kebutuhan pendanaan serta mencegah moral hazard.

“LPS sedang mengkaji produk atau lini usaha yang akan dijamin dalam PPP, dengan pertimbangan antara lain karakteristik produk, loss ratio, dan market share,” jelasnya.

Kemudian untuk iuran, mayoritas otoritas penjamin polis menerapkan sistem premi secara tetap atau flat. Namun, LPS sedang mempertimbangkan opsi penerapan sistem premi berbasis risiko atau premi diferensial dalam beberapa tahun ke depan.

Hal ini sebagai bentuk dorongan dan insentif bagi perusahaan asuransi yang menerapkan praktik manajemen risiko yang baik dan prudent. Nantinya, salah satu elemen kunci dalam penyelenggaraan PPP yang kredibel adalah ketersediaan data polis berbasis pemegang polis, tertanggung dan peserta.

Data polis tersebut didefinisikan sebagai informasi menyeluruh yang mencakup detail mengenai pemegang polis, tertanggung dan cadangan, nilai klaim serta manfaat yang dijamin oleh LPS sesuai dengan ketentuan PPP.

“UU P2SK mewajibkan perusahaan asuransi, untuk menyampaikan data polis berbasis pemegang polis, tertanggung, dan/atau peserta kepada LPS. Data inilah yang akan menjadi dasar bagi LPS dalam menentukan polis yang berhak mendapatkan penjaminan atau layak bayar,” jelasnya.

Kemudian pada 18 Oktober 2025 lalu, LPS melaksanakan penandatanganan Nota Kesepahaman tentang Kerja Sama Dalam Rangka Penyelenggaraan Program Penjaminan Polis, antara LPS dan Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI), Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI), Asosiasi Asuransi Syariah Indonesia (AASI), dan Asosiasi Ahli Manajemen Asuransi Indonesia (AAMAI).

Kerja sama ini mencakup penyediaan tenaga ahli, kerja sama penyelenggaraan kegiatan edukasi, sosialisasi dan publikasi, kerja sama pendidikan dan pelatihan di bidang asuransi, serta kerja sama riset terkait industri asuransi.

“LPS meyakini bahwa dengan dukungan inisiatif strategis dari industri tersebut, maka dampak positif dari aktivasi PPP yang terjadi di berbagai negara, seperti meningkatnya kepercayaan publik, pendapatan premi, dan lain sebagainya, akhirnya juga dapat terwujud di Indonesia dengan adanya PPP yang diselenggarakan oleh LPS nanti,” jelas dia.