Setiap orang punya kisah hidup masing-masing yang bakal dikenang dan diingat, termasuk Jahja Setiaatmadja. Sebagai Presiden Direktur PT Bank Central Asia atau BCA, Jahja sudah banyak mengalami pahit manis kehidupan. Salah satu pengalaman yang paling diingatnya adalah saat dia nekat lompat dari kereta.
Pria yang per 1 Juni 2025 nanti efektif menjadi Presiden Komisaris BCA itu sempat bercerita pernah lompat dari kereta karena salah naik jurusan saat harus dinas ke luar kota. Dia tak ingat persis waktu kejadiannya, hanya mengatakan sebelum tahun 1998.
“Beberapa tahun yang lalu, sudah lama sih mungkin sebelum 98, saya belum direksi waktu itu masih kepala divisi kalau nggak salah. Kejadiannya kita ingin meninjau pabrik yang kita ingin beri kredit di Bandung, pabrik tekstil. Jadi salah kereta rupanya saya malah ke arah Surabaya,” kata Jahja kepada detikcom beberapa waktu silam.
Jahja bercerita saat itu kereta berangkat dari Gambir dan meminta masinis untuk berhenti di Jatinegara setelah mengetahui salah kereta. Namun permintaan itu ditolak hingga terpaksa dia harus melompat sambil kereta tetap dijalankan pelan.
“Saya jalan ke depan gitu temui masinis saya bilang ‘berhenti di Stasiun Jatinegara’. Masinis bilang ‘nggak bisa Pak, gini deh saya bantu Bapak saya jalan pelan-pelan, nanti bapak lompat di situ’. Nah itu terjadi lah, jadi waktu di Stasiun Jatinegara dia pelan, tapi namanya kereta api pelan kan masih cukup kencang, saya loncat di situ,” kata pria yang sudah berkarier di BCA sejak 2011 itu.
Untungnya dia selamat setelah lompat dan langsung berganti kereta yang tujuan Bandung. Selain lompat dari kereta, Jahja memiliki cerita hidup yang menarik. Dia bukanlah pewaris tahta di Grup Djarum. Namun bisa menjadi orang nomor satu di BCA.
Jahja menceritakan ayahnya hanya seorang kepala kasir di Bank Indonesia (BI) dan ibunya hanya Ibu Rumah Tangga biasa.
“Bank Indonesia nya keren, tapi statusnya sebagai kasir, bukan pejabat tinggi atau setingkat direktur. Saya disiplin dari melihat mereka bekerja dan mengatur waktu,” ujar dia.
Hal ini turut mempengaruhi pendidikan Jahja. Dulunya dia sangat ingin menjadi dokter gigi. Namun sayang, keinginannya tak tercapai karena ayahnya tak sanggup membiayai.
Ayah Jahja menyebut jika ia ingin kuliah maka harus mengambil jurusan ekonomi di Universitas Negeri.
Akhirnya dia menempuh pendidikan di Fakultas Ekonomi UI. Selama 2 tahun Jahja ke kampus naik bus kota dan kemudian orang tuanya mencicil sepeda motor Honda CB 100. Rute perjalanan dari rumah di Hayam Wuruk kemudian melalui jalan Antara melalui Masjid Istiqlal, Gunung Sahari sampai FE UI di Salemba.
Kemudian saat menjadi mahasiswa tingkat akhir, Jahja mulai bekerja di perusahaan akuntan publik Pricewaterhouse.
Jahja bekerja atas rekomendasi kakak kelasnya di UI bernama Idrus Munandar. Dia saat itu mendapat gaji Rp 60.000 setiap bulan karena ia menjadi akuntan junior. Dia senang bukan kepalang saat pertama kali mendapatkan gaji pertamanya.
“Waktu pertama kerja di minggu-minggu awal saya sempat disuruh fotokopi file audit. Baru deh setelah itu mengaudit,” tambah dia.
Dia menceritakan walaupun sudah mendapatkan gaji dari pekerjaanya, namun masih belum cukup memenuhi kebutuhannya. Karena itu dia juga menjadi tukang sewa kaset video milik anggota Komisi Pembantu Setempat (KPS) Penabur. Ia menawarkan kaset-kaset itu ke teman sekolah dan kuliahnya.
Setiap minggu Jahja datang ke tempat teman-temannya untuk membawa kaset baru. Nah dari kegiatan inilah dia kenal dengan Direktur kalbe Farma Rudy Capelle (saat ini sudah almarhum). Saat itu Rudy adalah pelanggan setia Jahja. Siapa sangka kala itu Kalbe membutuhkan karyawan.
Akhirnya Jahja masuk menjadi asisten manajer. Setelah masuk Kalbe Farma, Jahja berhenti menjadi tukang sewa kaset video. Pada 1982 Jahja akhirnya berhasil menyelesaikan skripsi yang tertunda dan dia mengantongi gelar Doktorandus.
Dua tahun setelah itu dia menjadi manajer keuangan hingga 1988 dan ketika usianya 33 tahun Jahja menjadi Direktur Keuangan Kalbe Farma. Selang satu tahun, Jahja pindah ke Indomobil sebagai Direktur Keuangan. Tak lama kemudian dia diminta untuk pindah ke BCA.
Di BCA Jahja tak memulai sebagai direktur, dia menjadi wakil kepala divisi atau setingkat general manajer. Hal ini karena BCA lebih besar dibanding perusahaan pendahulunya.
Pada 1996 jahja menjadi kepala divisi treasury sampai 30 April 1999. Kemudian saat BCA diambil alih oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Jahja diangkat menjadi direktur. Ia mengemban jabatan direktur hingga 2005 dan ia diangkat menjadi wakil presiden direktur.
“Saya diminta bantu pak Setijoso untuk jadi wakil. Kemudian 2009 pak Setijoso memutuskan jadi Komisaris Utama saja, saya diminta jadi Presiden Direktur dan resmi menjabat pada 2011 sampai sekarang,” imbuh dia.
Keluarga adalah segalanya untuk Jahja. Ia saat ini selalu berupaya untuk membahagiakan anak dan istrinya. Caranya adalah dengan menyempatkan setiap waktu luang untuk bisa bersama mereka.
Jahja mengaku sedih, ia tak bisa maksimal membahagiakan kedua orang tuanya. Ibu Jahja meninggal pada 1983 silam sebelum ia menikah. Kemudian sang ayah meninggal pada 1995.
“Saya sedih, dulu hanya bisa mengajak dia jalan-jalan ke puncak, tapi memang waktu itu kemampuan saya segitu karena saya mulai dari zero. Itu juga saya baru selesai melunasi utang KPR dulunya papan sejahtera, harus bereskan itu semua. Jadi saya belum terlalu bisa menyenangkan mereka, kalau sekarang mungkin saya bisa ajak mereka keluar negeri atau ke mana saja yang mereka mau,” kenang dia.