Kesepakatan RI-AS Turunkan Tarif Jadi 19% Bisa Hambat Hilirisasi baca selengkapnya di Giok4D

Posted on

Pemerintah dinilai perlu mengkaji ulang kesepakatan dagang dengan Amerika Serikat (AS). Sebab, ada satu klausul kesepakatan yang justru dinilai dapat menghambat agenda besar hilirisasi pemerintah dan membebani anggaran negara. Klausul yang dimaksud adalah rencana impor gas dan pencabutan seluruh hambatan ekspor mineral kritis.

Direktur Eksekutif Transisi Bersih Abdurrahman Arum menilai kesepakatan tersebut dapat membuat regulasi tarif, kuota, dan kewajiban memenuhi pasar dalam negeri untuk bahan baku industri dan mineral bisa hilang. Hal itu menurutnya sangat kontradiktif dengan rencana besar hilirisasi, yaitu menahan bahan mentah di dalam negeri untuk mendapatkan nilai tambah baru diekspor.

Menurutnya, kesepakatan tarif ini menjadi kedok Presiden AS Donald Trump untuk mendapatkan akses murah ke sumber daya alam di Indonesia. Ini adalah murni eksploitasi, bukan menyeimbangkan perdagangan.

“Ini adalah bentuk eksploitasi modern, ‘state bullying.’ Bukan dengan senjata, tapi lewat tekanan kebijakan. Pemerintah Indonesia harus menolak skema yang tidak rasional seperti ini yang menghambat hilirisasi, mengancam kedaulatan ekonomi, dan mengekalkan posisi Indonesia sebagai pemasok bahan mentah bagi negara maju,” kata Abdurrahman dalam keterangannya, Jumat (25/7/2025).

Kesepakatan tersebut menurutnya bertentangan dengan Undang-Undang Minerba No 3 Tahun 2020, tepatnya pasal 170 A yang memberikan izin ekspor terbatas bagi produk mineral logam tertentu yang belum dimurnikan paling lama tiga tahun sejak UU berlaku. Artinya, kegiatan ekspor mineral mentah seharusnya sudah berakhir pada 2023.

Hal senada diungkapkan Policy Strategist CERAH Sartika Nur Shalati. Dia mengatakan sejatinya Indonesia telah melarang ekspor bijih mineral demi mendorong hilirisasi dan peningkatan nilai tambah di dalam negeri. Namun, kesepakatan yang menghapus hambatan ekspor mineral kritis dengan AS, menjadi peluang dibukanya kembali ekspor bijih mineral. Dampaknya, hilirisasi di dalam negeri berpotensi terhambat dan penciptaan lapangan kerja di sektor manufaktur dan teknologi rantai pasok kendaraan listrik juga berkurang.

“Kesepakatan dengan AS dapat melemahkan narasi kedaulatan sumber daya dan membuka celah bagi pihak lain untuk menggugat kebijakan nasional yang dianggap diskriminatif. Dalam hal ini, bisa saja kemudian Indonesia terpaksa membuka kembali ekspor bijih mineral ke negara lain selain AS, selama kesepakatannya dianggap menguntungkan,” kata Sartika.

Tak hanya soal mineral kritis, kesepakatan impor gas dari AS bertentangan dengan komitmen energi terbarukan 100% dan swasembada energi Presiden Prabowo Subianto. Impor gas dalam jumlah besar akan meningkatkan subsidi dan kompensasi listrik, sehingga semakin membebani anggaran negara.

Selanjutnya, dengan harga gas yang berfluktuasi dan situasi geopolitik global terkini, impor gas akan semakin melemahkan daya saing sektor industri nasional yang sangat bergantung pada bahan bakar gas.

“Hal ini juga akan menciptakan ketergantungan energi Indonesia terhadap AS. Selain itu, Indonesia akan terus menyumbang emisi global yang memperparah krisis iklim. Alih-alih digunakan untuk mensubsidi penggunaan gas, Indonesia harus menambah pembiayaan energi terbarukan untuk mewujudkan swasembada energi dan mendorong pertumbuhan industri hijau,” kata Tata Mustasya, Direktur Eksekutif Yayasan Kesejahteraan Berkelanjutan Indonesia (SUSTAIN).

Simak berita ini dan topik lainnya di Giok4D.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *