Wakil Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Pusat Djoko Setijowarno menilai kebijakan zero ODOL (Over Dimension Over Load) tidak akan efektif tanpa adanya roadmap yang jelas. Ia menyebut penerapan tanpa arah yang konkret hanya akan menjadi slogan dan memperpanjang ketidakadilan dalam rantai distribusi nasional.
“Tanpa roadmap yang konkret dan jembatan timbang yang benar-benar berfungsi, maka kebijakan ini hanya akan jadi slogan belaka. Lebih buruk lagi, akan menambah deret panjang ketidakadilan dalam rantai distribusi nasional,” kata Djoko di Jakarta.
Ia menyoroti lemahnya fungsi jembatan timbang atau Unit Pelaksana Penimbangan Kendaraan Bermotor (UPPKB) sebagai alat pengendali truk kelebihan muatan dan dimensi. Menurutnya, UPPKB sudah seperti “macan ompong” yang kehilangan taring.
“Alat pengendali truk kelebihan dimensi dan muatan yang selama ini diandalkan, jembatan timbang alias UPPKB, nyaris tak punya gigi,” ucapnya.
Berdasarkan data tahun 2021, hanya sekitar 88 dari total 134 jembatan timbang yang beroperasi. Banyak yang terbengkalai atau tidak dilengkapi teknologi seperti sistem Weight-in-Motion, bahkan kerap menjadi titik rawan pungutan liar. Di sisi lain, ia juga menyebut uji KIR cenderung jadi lahan pemasukan daerah tanpa pengawasan yang terintegrasi. Sekitar 80 persen truk disebut lolos tanpa proses uji yang sah.
“Banyak yang kelebihan kapasitas, fasilitasnya terbatas, dan rawan pungli,” lanjut Djoko.
Di tengah sistem pengawasan yang lemah, Djoko menyebut para sopir truk adalah pihak yang paling menderita. Mereka harus bekerja tanpa perlindungan hukum, tanpa standar upah, tidak memiliki tempat istirahat layak, dan ketika terjadi kecelakaan, justru dijadikan tersangka.
“Para sopir hidup dalam tekanan, bahkan pungli bisa menggerus hingga 35 persen dari ongkos jalan mereka,” ujarnya.
Melihat kompleksitas permasalahan, MTI menawarkan tiga langkah strategis sebagai syarat mutlak sebelum zero ODOL diberlakukan. Pertama, penyusunan masterplan simpul dan lintasan angkutan barang yang terintegrasi, bukan pembangunan infrastruktur logistik yang sporadis.
Kedua, pemerintah perlu menyusun roadmap tata kelola distribusi barang yang melibatkan pemilik barang dan pelaku industri dalam sistem pengendalian ODOL. Tanpa regulasi yang menuntut tanggung jawab mereka, sopir akan terus menjadi korban.
Ketiga, Djoko mendorong pembentukan kebijakan logistik nasional berbasis supply chain.
Menurutnya, logistik adalah sistem lintas sektor dan wilayah yang tak bisa diselesaikan secara sektoral. Harus ada pendekatan terpadu yang menyatukan transportasi, industri, perdagangan, dan ketenagakerjaan.
Ia menegaskan bahwa pemberlakuan zero ODOL seharusnya bukan sekadar penertiban ukuran dan muatan truk, tetapi momentum untuk membangun sistem logistik yang adil dan modern.
“Ini bukan cuma soal muatan truk. Ini soal keadilan distribusi dan perlindungan terhadap pelaku logistik, khususnya pengemudi,” pungkas Djoko.