Industri fintech peer-to-peer (P2P) Lending atau pinjaman daring (pindar) Indonesia dinilai masih punya potensi sangat besar untuk berkembang. Sebab, diperkirakan masih ada gap kebutuhan kredit masyarakat mencapai Rp 1.650 triliun, yang tidak tersentuh bank hingga multifinance.
Ketua Umum Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) Entjik S. Djafar mengatakan, industri fintech Indonesia masih memiliki daya tarik besar bagi para investor asing. Setidaknya ada dua hal utama yang menjadi landasan daya tarik tersebut.
Pertama, Indonesia memiliki pasar yang sangat besar, dengan jumlah penduduk terbesar keempat di dunia. Setidaknya saat ini penduduk RI tembus hingga 280 juta jiwa.
“Apa sih yang dilirik dari fintech lending di Indonesia? Yang dilirik oleh investor adalah market dari Indonesia ini sangat besar. Kita nomor 4 terbesar di dunia,” kata Entjik dalam acara Singapore Fintech Festival 2025 di Singapore Expo, kawasan Changi, Singapura, Rabu (12/11/2025).
Kedua, menurutnya potensi besar industri fintech P2P lending RI juga terlihat dari gap kebutuhan kredit masyarakat. Jumlahnya masih sangat besar, mencapai Rp 1.650 triliun pendanaan belum mampu dipenuhi industri jasa keuangan konvensional.
“Artinya ada kebutuhan dari masyarakat ya sebesar Rp 1.650 triliun yang belum bisa di-adopt, belum bisa di-serve, dilayani oleh bank, multifinancial company. Jadi kita ini sebenarnya memang besar sekali, marketnya besar,” ujar dia.
“Dengan penduduk 270 juta ini sangat besar dibanding negara-negara lain di Asia maupun Asia Tenggara. Jadi, memang Indonesia menjadi sangat potensial untuk industri ini,” sambungnya.
Untuk membuka peluang masuknya para investor asing ke industri fintech RI, sejumlah anggota AFPI kerap mengikuti acara expo seperti Singapore Fintech Festival 2025. Menurutnya, investor asal Singapura menjadi salah satu pihak dengan minat terbanyak.
Menurutnya, minat investor asing untuk berkecimpung di industri fintech tumbuh seiring dengan peningkatan kebutuhan pembiayaan di tengah masyarakat. Minat ini sangat bergantung pada risk appetite atau selera risiko, di mana ada yang tertarik pada sektor produktif maupun multiguna (cashloan) yang memiliki margin lebih tinggi.
Selain Singapura, perusahaan asal China, India, hingga Eropa Timur juga banyak yang berminat masuk ke industri fintech RI. Adapun China menjadi salah satu negara dengan industri fintech paling maju. Ditambah lagi, China gencar membuka perusahaan di berbagai negara.
“China mereka lebih berani, karena kan bisnis ini risikonya tinggi. Kalau Amerika Serikat (AS) kan analisanya lama (jadi tidak segencar China),” kata Entjik.
Sebagai informasi, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat outstanding pembiayaan Peer to Peer (P2P) Lending alias penyaluran utang pinjaman online (pinjol) pada September 2025 sudah tembus Rp 90,99 triliun.
Jumlah ini tercatat naik hingga 22,16% secara tahunan (year-on-year/YoY). Secara bulanan, angka itu juga tercatat naik sekitar 3,86% dari bulan Agustus 2025 yang mencapai Rp 87,61 triliun.
Pertumbuhan pembiayaan itu diiringi dengan peningkatan kredit macet atau tingkat wanprestasi 90 hari (TWP90) mencapai 2,82% pada September 2025, lebih tinggi sedikit dibandingkan Agustus 2025 di level 2,60%. Artinya, orang yang tak bayar utang pinjol bertambah.
Tonton juga video “Utang Pinjol Warga +62 Tembus Angka Rp 80 T!”






