Klaim “air pegunungan” pada produk Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) ternyata bukan sekadar jargon pemasaran. Industri AMDK besar rela menggelontorkan investasi hingga miliaran rupiah untuk memastikan air yang sampai ke konsumen benar-benar berasal dari sumber yang aman dan berkualitas.
Heru Hendrayana, ahli hidrogeologi Universitas Gadjah Mada (UGM), mengungkapkan satu kali pengeboran sumur dalam bisa menelan biaya hingga Rp2 miliar. “Itu sebabnya hanya industri besar yang bisa melakukan. Mereka meneliti asal-usul air tanahnya agar benar-benar dari pegunungan, bukan asal ambil,” ujarnya.
Investasi mahal ini dilakukan karena air tanah dangkal lebih rentan terkontaminasi limbah rumah tangga, septic tank, maupun polusi lingkungan. Air dari akuifer dalam, yang umumnya terhubung dengan sistem hidrogeologi pegunungan, dinilai lebih higienis dan memiliki mineral alami yang lebih kaya.
Profesor Lambok M. Hutasoit, pakar hidrogeologi dari Institut Teknologi Bandung (ITB), menambahkan tidak semua air tanah aman dikonsumsi. “Salah satunya ada Kromium VI yang sangat beracun. Jadi, tidak sembarangan menggunakan air tanah untuk air minum. Harus dianalisis kimianya terlebih dahulu,” jelasnya.
Menurut Lambok, lapisan batuan juga memegang peranan penting dalam menentukan kualitas air. Batuan pasir, kapur, dan gamping menjadi lapisan ideal, sementara batu lumpur dinilai mudah tercemar.
Fakta ini memperlihatkan bahwa klaim air pegunungan yang diusung produsen AMDK bukan hanya strategi marketing, melainkan hasil penelitian ilmiah dan investasi besar agar produk yang dijual benar-benar sehat dan aman bagi konsumen.