Implementasi VMS Wajib bagi Kapal Penangkap Tuna di Samudera Hindia

Posted on

Organisasi pengelolaan perikanan tuna atau Indian Ocean Tuna Commission (IOTC) mewajibkan pemasangan vessel monitoring system (VMS) pada kapal-kapal penangkap tuna yang beroperasi di wilayah Samudera Hindia. Penggunaan alat tersebut bertujuan untuk memastikan kepatuhan penangkap dari praktik illegal unreported unregulated fishing (IUUF).

“Ini sudah diatur dalam resolusi 15/03, di mana VMS wajib digunakan oleh kapal-kapal tuna. Jadi ayo sama-sama kita benahi, VMS itu wajib, supaya hasil tangkapan teman-teman bisa berdaya saing,” ungkap Staf Ahli Menteri Kelautan dan Perikanan Bidang Ekonomi, Sosial, dan Budaya, Trian Yunanda dalam talk show Bincang Bahari di Kantor KKP, Jakarta Pusat dikutip keterangan tertulis, Rabu (30/4/2025).

Dia mengatakan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dalam menyusun aturan VMS di dalam negeri, berpatok pada regulasi internasional. Hal ini sebagai komitmen pemerintah menjaga keberlanjutan ekosistem, melawan IUUF, serta meningkatkan daya saing hasil perikanan Indonesia di pasar global. Dengan adanya VMS, menurutnya sistem pengawasan kapal penangkap ikan menjadi lebih optimal.

Trian juga meluruskan penggunaan VMS saat ini hanya diwajibkan untuk kapal berizin pusat, bukan untuk kapal nelayan kecil.

“VMS itu untuk kapal komersial, yang digunakan pelaku usaha, kapal 30 GT keatas, atau di atas 10 GT yang nangkap ikan di atas 12 mil laut,” terangnya.

Dia menyebut berkat adanya peningkatan kepatuhan Indonesia termasuk dalam melaksanakan program VMS, Indonesia berhasil menambah kuota tangkapan tuna dalam sidang ke-29 IOTC di La Reunion, Prancis beberapa waktu lalu.

Diplomasi delegasi Indonesia yang dipimpin KKP berhasil menyakinkan IOTC, sehingga memperoleh tambahan kuota tangkapan untuk tiga jenis tuna. Adapun rinciannya kuota tangkapan big eye dari 2.791 ton menjadi 21.396 ton untuk periode 2026-2028, skipjack tuna (cakalang) menjadi 138.000 ton, dan yellowfin tuna yang disepakati menjadi 45.426 ton untuk tahun 2025.

Sementara itu, Sekretaris Jenderal Asosiasi Tuna Indonesia (Astuin) Muhammad Billahmar mengajak semua pihak agar patuh dan mengikuti aturan main. Dia mengatakan penangkapan tuna tidak diatur oleh tiap negara, melainkan secara regional.

Meski saat ini masih terjadi penolakan penggunaan VMS, dia berharap segera ada jalan tengah agar seluruh kapal khususnya penangkap tuna memiliki perangkat teknologi satelit tersebut. Jika tidak ikut aturan, tuna Indonesia berpotensi sulit bersaing di pasar global.

“Mau tidak mau karena ini sudah aturan, dari RFMO juga ya harus diikuti, kalau tidak nanti dampaknya ke pasar,” ungkap Billahmar.