Sebanyak 53% perusahaan RI yakin ketidakpastian dagang usai implementasi tarif resiprokal Amerika Serikat (AS) mendatangkan peluang baru. Bahkan, diyakini dalam 2 tahun ke depan pertumbuhan bisnis mengarah ke angka yang lebih positif.
Data tersebut berdasarkan Global Trade Pulse Survey yang digelar pada Mei dan Oktober 2025, menyusul pengumuman Presiden AS Donald Trump terkait tarif impor baru tersebut. Survei ini dilakukan di 17 negara dengan 6.750 responden di level rata-rata C-Suite, di mana Indonesia sendiri mensurvei 200 nasabah.
Country Head Global Trade Solutions HSBC Indonesia Delia Melissa mengatakan, survei ini menjaring responden yang cukup bervariasi, mulai dari pemain internasional, pengusaha lokal, hingga pemain pasar kelas menengah. HSBC ingin melihat pandangan para pengusaha terhitung 6 bulan sejak pengumuman tarif.
“Ketidakpastian trade tariff itu justru berdampak positif bagi nasabah-nasabah di Indonesia. Mungkin kalau kita orang Indonesia sudah kebiasaan ya, dalam kesempitan pasti ada kesempatan. I guess this is what’s been reflecting in the survey, jadi 53% perusahaan Indonesia merasa yakin bahwa ketidakpastian perang dagangan ini justru memberikan opportunity,” kata Delia dalam acara Media Briefing di Kantor HSBC Indonesia, World trade Center, Sudirman, Jakarta, Selasa (9/12/2025).
Survei ini juga mencatat para pengusaha RI memiliki ekspektasi dalam 2 tahun ke depan kondisi akan semakin positif. Tercatat sebanyak 69% responden yakin tarif dapat mendatangkan pengaruh positif ke depannya di atas rata-rata global yang mencapai 57%.
Delia menjelaskan, optimisme ini muncul dengan mempertimbangkan posisi Indonesia sebagai negara alternatif yang cukup menjanjikan sebagai pemasok setelah China dikenakan tarif tinggi. Menurutnya, Indonesia punya posisi yang sangat strategis untuk itu.
“Kenapa kita well positioned sebagai negara alternatif? Satu, biaya sumber daya kita yang memang cenderung lebih kompetitif dibandingkan negara lain. Kedua, yang mungkin negara-negara lain tidak punyai, tapi Indonesia punyai adalah pasar domestik yang sangat besar. Jadi when investor atau pemain asing melihat negara alternatif, Indonesia is right position untuk bisa capture opportunity itu,” jelasnya.
Berdasarkan hasil survei tersebut, lanjut Delia, terdapat beberapa sektor yang juga mengalami peningkatan ekspor usai pengumuman tarif baru AS. Sektor tersebut mulai dari elektronik, komponen otomotif, furnitur, hingga tekstil.
Tarif juga membuat China perlu melakukan relokasi pabrik ke negara lain demi mendapatkan tarif impor yang lebih murah dari AS. Kondisi ini membuat Indonesia disasar sebagai salah satu negara strategis untuk berinvestasi.
“Jadi kita juga melihat banyak perusahaan dari China dan banyak perusahaan investor global itu juga merelokasi manufakturnya dari China ke Indonesia. Hal ini tentu saja meningkatkan investasi baru, memperluas kapasitas produksi dan permintaan bahan baku dan logistik di Indonesia. Dan juga prekonfigurasi of trade supply chain,” terangnya lagi.
Kondisi ini juga didukung dengan sentimen pasar Indonesia yang terus bertumbuh ke arah positif. Dari sisi pasar saham, terlihat Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sudah tembus ke level 8.000, bahkan mendekati 9.000. Neraca perdagangan RI juga tercatat surplus US$ 35,88 miliar periode Januari-Oktober 2025.
“Ini hampir US$ 36 billion neraca perdagangan kita surplus, which is naik US$ 10,98 billion, almost US$ 11 billion increase compare to the same period dari Januari sampai Oktober 2025. It shows despite the challenges, despite the gonjang-ganjing, pemain pelaku bisnis Indonesia masih positif, masih optimis, dan juga terlihat dari figure-figure neraca perdagangan kita,” ujar Delia.
Simak juga Video ‘Trump Beri Bantuan USD 12 M untuk Petani Terdampak Perang Dagang’:






