Selama beberapa dekade, kerja keras dan pendidikan tinggi menjanjikan tiket menuju kemakmuran bagi kaum muda Asia. Namun demikian, tawaran lama itu kini sudah tidak berlaku.
Kini, tantangan yang melingkupi para generasi muda Asia ialah kesulitan mendapat pekerjaan. Memiliki pendidikan tinggi dan lulus dari sekolah-sekolah terbaik tidak menjamin jalan menuju masa depan cerah akan mudah.
Seperti yang dialami oleh Cho Sang-hun, penduduk Seoul, Korea Selatan, berusia 25 tahun. Masa depannya saat ini bergulir di kolom-kolom lowongan pekerjaan yang tak berujung. Ketidakpastian mengaburkan pencarian kariernya, seperti yang dialami jutaan anak muda di seluruh Asia.
Choi telah melalui berbagai tantangan mulai dari lulus dari sekolah elit, melaksanakan kegiatan ekstrakurikuler yang tak henti-hentinya, hingga serangkaian magang. Namun ia masih menyebut dirinya second-hand rookie atau pemula berpengalaman.
“Generasi orang tua kami dapat dengan mudah mendapatkan pekerjaan di perusahaan konglomerat besar jika mereka lulus universitas, terlepas dari apakah mereka memiliki pengalaman sebelumnya atau tidak,” kata Cho, dikutip dari SCMP, Sabtu (4/10/2025).
Kekecewaan Cho dirasakan oleh banyak anak muda di seluruh Asia, di mana kelelahan yang semakin meningkat memaksa mereka untuk melakukan perhitungan antar generasi. Dalam hal ini, apakah janji bahwa kerja keras dan pendidikan tinggi menjamin kehidupan yang lebih baik telah kehilangan maknanya.
Di Korea Selatan, muncul istilah geunyang swim atau baru saja beristirahat, menggambarkan anak muda yang tidak sedang belajar maupun mencari pekerjaan. Di Jepang, ada satori sedai atau generasi tercerahkan, yang melepaskan ambisi materi demi kepuasan sederhana. Sedangkan di China, ada tang ping (lying flat/hidup santai), istilah populer untuk generasi yang menolak mengikuti persaingan ketat.
Beberapa kritikus menepis tren ini sebagai bukti kemalasan. Namun pengamat lain bersikeras bahwa sesuatu yang lebih mendalam sedang terjadi, yakni kemunduran perlahan dan rasional dari sistem yang menuntut semakin banyak tetapi menawarkan semakin sedikit, di tengah melonjaknya biaya hidup, jaminan kerja yang tidak menentu, dan kelelahan.
Korea Selatan
Lama dikenal dengan etos kerja yang gigih dan budaya pendidikan yang keras, Korea Selatan kini menyaksikan tanda-tanda perlambatan generasi. Hampir separuh warga Korea dalam survei dari Statistik Korea pada tahun 2021 mengatakan mereka ragu dapat menaiki tangga sosial.
Pada bulan Juli tahun ini, jajak pendapat serupa mencatatkan hasil bahwa lebih dari 420.000 warga Korea berusia dua puluhan mengklasifikasikan diri mereka sebagai just resting atau baru beristirahat. Angka ini naik hampir 60% dibandingkan dekade sebelumnya.
Sebaliknya, banyak yang memilih honjok, atau hidup menyendiri, menyusun portofolio pekerjaan paruh waktu atau pekerjaan sampingan, dan menghindari jam kerja panjang di dunia korporat.
Jepang
Di Jepang, puluhan tahun stagnasi ekonomi dan prospek karier yang semakin menipis telah disambut dengan pengunduran diri atau resign dan introspeksi oleh banyak satori sedai (younger enlightened generation) atau generasi muda yang tercerahkan.
Satori Sedai muncul akibat kelemahan finansial negara Asia Timur ini dan dicirikan oleh rasa puas mereka terhadap masa kini dan fokus pada kegiatan non-materialistis.
Tidak seperti orang tua mereka, para generasi muda ini tidak mendambakan mobil, perjalanan ke luar negeri, atau barang-barang mewah. Sebaliknya, mereka menemukan kepuasan dalam kesenangan yang lebih sederhana seperti kopi di minimarket, streaming anime, dan pekerjaan tetap meskipun membosankan.
China
Frasa tang ping atau lying flat dalam bahasa Mandarin pertama kali menjadi viral pada tahun 2021. Pada kala itu, sebuah unggahan media sosial merayakan lying flat atau hidup santai sebagai respons bermartabat terhadap jam kerja yang tidak memungkinkan, melonjaknya biaya perumahan, dan menyusutnya mobilitas sosial.
Ungkapan ini menyentuh hati jutaan anak muda yang terjebak dalam budaya kerja 996 China, yaitu bekerja dari jam 9 pagi hingga 9 malam, 6 hari seminggu. Sejumlah anak muda berpandangan, di China kini kerja keras tak lagi membuahkan hasil, terutama karena populasinya yang besar dan perkembangan teknologi baru, sehingga tidak sedikit yang memilih hidup tanpa tujuan dan ambisi.
Menariknya, dalam beberapa tahun terakhir, tang ping telah bermutasi menjadi bai lan atau let it rot (biarkan membusuk), sebuah perlawanan yang lebih sinis terhadap kerja berlebihan. Istilah ini muncul dengan penggambaran yang lebih pesimis terhadap masa depan anak muda di sana.
Asia Tenggara dan Indonesia
Ketika kaum muda Asia Timur bergulat dengan kelelahan, di Asia Tenggara perjuangannya cenderung lebih mendasar. Di Filipina, anggota Gen Z menggambarkan kesuksesan hanya sebagai sekadar bertahan. Meningkatnya biaya hidup dan ketidakpastian ekonomi telah menggeser prioritas.
Menurut sebuah studi Boston Consulting Group tahun lalu, hampir 80% warga Filipina ingin bekerja di luar negeri, 83% di antaranya berusia di bawah 30 tahun. Kondisi ini menjadi sebuah ukuran yang jelas tentang betapa meragukannya prospek mereka di negara asal.
Migrasi masih menjadi urat nadi perekonomian, dengan remitansi mencapai sekitar 9% dari produk domestik bruto Filipina pada tahun 2024. Bagi banyak orang, ambisi bukan lagi tentang menaiki jenjang karier, melainkan mengirimkan uang pulang dari pekerjaan di Teluk, Amerika Utara, atau tempat lain di Asia.
Negara-negara Asia Tenggara lainnya menghadapi tantangan serupa. Di Thailand, tingkat kaum muda yang tidak menempuh pendidikan formal, pekerjaan, atau pelatihan melonjak setelah pandemi, mencapai hampir 1,4 juta pada tahun 2023, menurut data Unicef.
Pengangguran kaum muda juga menjadi masalah di ekonomi terbesar di kawasan ini, Indonesia. Data pemerintah mencatat, sekitar 16% dari sekitar 44 juta penduduk Indonesia berusia 15 hingga 24 tahun diperkirakan menganggur. Angka ini jauh di atas rata-rata nasional.
Selain itu, keberadaan pekerjaan serabutan informal dan kontrak jangka pendek merupakan hal yang umum. Hal ini begitu pula impian untuk melarikan diri ke luar negeri.
Selama beberapa dekade, belajar dengan giat dan bergabung dengan perusahaan besar praktis menjamin mobilitas ke atas di Asia di tengah pertumbuhan ekonomi yang pesat. Namun, janji itu tidak lagi berlaku di tengah pertumbuhan yang stagnan dan kesenjangan yang semakin melebar. gelar