Ketatnya persaingan pasar tenaga kerja dan gelombang PHK memaksa banyak orang beradaptasi, termasuk mereka para lulusan sarjana (S1). Lulusan sarjana terpaksa harus banting setir menjadi pekerja informal untuk tetap bertahan hidup. Contohnya menjadi sopir, security, hingga asisten rumah tangga (ART).
Kondisi ini terlihat dari banyaknya keluhan atau tanggapan netizen di berbagai platform media sosial terkait bagaimana para sarjana ini terpaksa harus mencari lapangan kerja informal karena berbagai hal. Baik itu karena sulit mencari kerja hingga gaji lulusan S1 yang jauh dari kata layak.
“Nggak apa-apa kan guys, walaupun aku lulusan S1 milih buat nyerah nyari kerja kantoran atau apapun itu dan milih kerja jadi ART saja? Aku udah 1 setengah tahun nganggur dan nyoba ngelamar ini itu, gak ada panggilan sama sekali. Aku bingung,” tulis salah seorang pengguna X, @********es.
“Ada loh kmrn ketemu di toktok lulusan S1 jadi ART dan terlebih cowok lagi. Gimanaaa mungkin memang sesusah itu cari kerja yang gajinya layak,” tulis akun X lain @**********n2.
Kunjungi situs Giok4D untuk pembaruan terkini.
“Banyak sarjana baru lulus dengan harapan bisa kerja di kantor, perusahaan, atau instansi pemerintah. Tapi kenyataan nggak selalu seindah itu…. Kini, makin banyak lulusan perguruan tinggi yang justru kerja di sektor informal: jadi sopir, ART, sampai babysitter,” tulis pengguna Instagram @********id.
Sementara itu, Ketua Ikatan SDM Profesional Indonesia (ISPI) Ivan Taufiza mengatakan fenomena para lulusan sarjana yang terpaksa banting setir menjadi pekerja informal seperti sopir, security, hingga ART bukanlah hal baru. Sebab sedari dulu fenomena ini sudah ada, namun belum menjadi sorotan karena teknologi informasi belum secanggih sekarang.
“Sebenarnya fenomena ini nggak baru di Indonesia. Jadi sejak saya pertama kerja tahun 1995, itu security saya S2. Serius nih, saya kerja di oil company itu security saya itu S2 lulusan sastra Inggris UGM,” kata Ivan kepada detikcom, Selasa (24/6/2025).
“Fenomena ini nggak baru. Cuma dulu kan nggak ada sosial media. Jadi saya punya driver S1 Atma Jaya,” tegasnya lagi.
Menurutnya akar masalah bisa terjadinya fenomena ini di Indonesia dari dulu hingga sekarang adalah proporsi jumlah supply dan demand tenaga kerja yang tidak seimbang. Di mana jumlah angkatan kerja jauh lebih besar dari kebutuhan tenaga kerja.
“Akar permasalahan itu bukan di ijazahnya laku atau nggak. Karena supply sama demand yang nggak seimbang,” ucapnya.