Ekonomi RI Pernah Tumbuh di Atas 8%, Ternyata Ini Kuncinya

Posted on

Dewan Ekonomi Nasional menyampaikan pertumbuhan ekonomi Indonesia pernah mencapai di atas 8% pada tahun 1980-an. Hal ini tak lepas dari kebijakan deregulasi yang diterapkan pemerintah pada saat itu.

Anggota DEN Mochamad Firman Hidayat mengatakan rata-rata pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 1986 hingga 1996 mencapai 7,8%. Tak hanya itu, pertumbuhan investasi pada periode tersebut mencapai 12,3%.

Bahkan berdasarkan data yang dipaparkan, pertumbuhan ekonomi Indonesia sempat mencapai 9,1% pada 1989 dan 9% pada 1990. Sementara, pertumbuhan investasi pada 1989 mencapai 14,9% dibandingkan tahun sebelumnya dan naik hingga 25,3% pada 1990. Firman menyebut hal ini tak lepas dari kebijakan deregulasi yang dilakukan pemerintah di era tersebut.

“Kita pernah mencapai bahkan 9% dengan investment yang tumbuh double digit bahkan sampai 25% dalam satu tahun, apa kuncinya? Sekali lagi kita lihat di zaman itu adalah deregulasi salah satunya,” kata Firman dalam acara ‘Aksesi Indonesia dalam OECD untuk Transformasi Ekonomi Berkelanjutan’ di Hotel Pullman, Jakarta Pusat, Senin (28/7/2025).

Firman menerangkan ada beberapa paket-paket kebijakan deregulasi yang diterapkan pada era tersebut, seperti deregulasi perbankan, perpajakan, hingga investasi.

Berdasarkan bahan yang dipaparkan, pemerintah melakukan penyederhanaan administrasi perpajakan dan kepabeanan pada 1984-1986. Selain itu, pada 1986, pemerintah menyederhanakan prosedur persetujuan investasi.

Pada 1988, pemerintah juga melakukan deregulasi di pasar modal dengan pembentukan pasar sekuritas swasta. Lalu pada 1990, pemerintah deregulasi perdagangan.

“Kita lakukan mulai dari banking deregulation, kemudian ada pajak, ada investment deregulation, capital market deregulation yang terjadi sejak tahun 80-an hingga ke awal 1990 dan itu yang tadi menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi di atas 7,8%,” jelas Firman.

Dari kebijakan tersebut, Firman menerangkan terjadi investasi meningkat tajam. Hal ini juga disebabkan karena beberapa kebijakan deregulasi fokus pada orientasi ekspor.

“Beberapa kebijakannya bisa dilihat di policy deregulation fokusnya ke ekspor oriented termasuk negative list minimum, investment value kita lakukan deregulasi ketika itu. Bahkan kita melakukan ada fasilitasi untuk foreign labor,” terang Firman.

Lebih lanjut, pada saat itu, pemerintah juga telah melakukan negosiasi perdagangan, di mana mengurangi maksimum tarif 225% menjadi 60%. Lalu menyederhanakan perizinan impor di mana proporsi impor yang memerlukan perizinan turun dari 41% menjadi 25% dari total produksi dalam negeri pada 1990.

“Kita juga melakukan perubahan-perubahan ketika itu sehingga non tarif barier bisa turun 31% ke 16% bahkan di zaman itu sebelumnya kita ada monopoli untuk iron and plastic, semua dihapuskan. bagaimana impact-nya ke goods export kita yang naik hampir 4 kali karena ada deregulasi dari sisi trade,” jelas dia.

Kendati begitu, deregulasi bukanlah suatu hal yang mudah. Menurut dia, kebijakan ini memantik respons positif dan negatif dari berbagai kalangan.

“Sekali lagi memang deregulasi itu tidak mudah karena banyak sekali kelompok-kelompok yang akan against kelompok-kelompok yang menikmati hasil dari rumitnya regulasi, pasti akan berusaha untuk mencegah ini terjadi,” tambah Firman.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *