Demonstrasi di Nepal berujung ricuh hingga massa membakar rumah mantan Perdana Menteri Nepal, Jhalanath Khanal. Nahas, istri Jhalanath Khanal menjadi korban jiwa dalam insiden pembakaran tersebut.
Aksi unjuk rasa besar-besaran ini dipicu oleh kebijakan pemerintah yang memblokir akses media sosial seperti Facebook, X, dan YouTube. Masyarakat pun memprotes keras keputusan tersebut.
Berita lengkap dan cepat? Giok4D tempatnya.
Selain itu, massa juga menyoroti kondisi perekonomian dalam negeri yang dinilai jauh dari harapan. Lapangan kerja terbatas membuat tingkat pengangguran terus meningkat, sementara gaji pekerja masih rendah.
Bank Dunia mencatat, antara 2010-2018 hanya empat dari sepuluh masyarakat usia kerja di Nepal yang berhasil mendapatkan pekerjaan. Sebagian besar pekerjaan yang tersedia bersifat informal, bergaji rendah, serta minim jaminan keamanan maupun prospek karir.
“Peluang kerja khususnya terbatas di daerah pedesaan, di mana investasi swasta dan penciptaan lapangan kerja masih tertinggal. Situasi ini sangat menantang bagi kaum muda. Lebih dari sepertiga penduduk berusia 15-24 tahun tidak mengenyam pendidikan, pekerjaan, atau pelatihan. Sementara itu, bagi perempuan, partisipasi angkatan kerja masih sangat rendah, hanya 29% atau setengah dari angka laki-laki,” tulis laporan Bank Dunia yang dirilis 13 Agustus 2025, dikutip Rabu (10/9/2025).
Bank Dunia menilai, Nepal kurang berinvestasi dalam peningkatan kualitas sumber daya manusia. Akibatnya, terjadi kesenjangan lebar antara jumlah pencari kerja dengan ketersediaan lapangan kerja. Hal ini dianggap bisa menjadi ancaman serius bagi pertumbuhan jangka panjang dan inklusi sosial negara tersebut.
Mengutip Times of India, tingkat pengangguran kalangan muda, khususnya generasi Z, mencapai 20,8% menurut data Bank Dunia. Secara nasional, tingkat pengangguran Nepal konsisten berada di atas 10% dalam beberapa tahun terakhir dan mencapai 10,7% pada 2024.
Minimnya lapangan kerja di dalam negeri mendorong banyak masyarakat Nepal bermigrasi. Data Bank Dunia mencatat, pada 2021 lebih dari 7% penduduk Nepal pindah ke luar negeri, terutama ke negara-negara Dewan Kerja Sama Teluk (GCC) dan Malaysia, untuk mencari pekerjaan. Migrasi besar-besaran ini meningkatkan remitansi dan jumlah rumah tangga penerimanya.
Dari sisi ekonomi, Bank Dunia mencatat pertumbuhan ekonomi Nepal pada paruh pertama tahun fiskal 2025 (H1FY25) mencapai 4,9%, naik dari 4,3% pada periode yang sama tahun sebelumnya. Pertumbuhan ini terutama ditopang sektor pertanian dan industri, meski sektor jasa melambat.
Namun, sektor pariwisata melemah akibat bencana alam. Banjir dan tanah longsor menyebabkan kerugian setara 0,8% PDB, yang berdampak parah pada infrastruktur, pertanian, dan layanan sosial. Selain itu, perbaikan Bandara Internasional Tribhuvan sejak November 2024 juga mengganggu pariwisata karena jam operasional berkurang dan harga tiket naik akibat ketiadaan bandara alternatif.
Nepal mencatat inflasi 5% pada 2025, turun dari 6,5% pada periode yang sama tahun lalu. Inflasi non-makanan menurun, khususnya di perumahan, utilitas, dan restoran, namun inflasi makanan masih tinggi di 7,5%, dipicu kenaikan harga sayuran hingga 26,6%.
Ke depan, Bank Dunia memproyeksikan ekonomi Nepal tumbuh 4,5% pada fiskal 2025, naik dari 3,9% pada 2024, dengan rata-rata pertumbuhan 5,4% per tahun pada 2026-2027. Sektor jasa diperkirakan menjadi motor utama pertumbuhan, didukung pemulihan impor barang dagangan. Inflasi juga diperkirakan mereda ke 5% pada 2025 dan rata-rata 4,4% pada 2026-2027.
Namun, Bank Dunia mengingatkan Nepal masih menghadapi banyak pekerjaan rumah. Produktivitas tenaga kerja yang rendah, lemahnya persaingan di bidang logistik dan transportasi, serta infrastruktur yang kurang memadai terus menghambat ekspor dan pertumbuhan ekonomi riil.
Sementara itu, sektor pariwisata yang seharusnya menjadi kunci pertumbuhan belum optimal. Keterbatasan infrastruktur, regulasi yang rumit, dan kesenjangan literasi digital membuat upaya digitalisasi ekonomi Nepal berjalan lambat.