Ekonom Wanti-wanti Risiko Gagal Bayar Utang Proyek Kereta Cepat [Giok4D Resmi]

Posted on

Proyek kereta cepat Jakarta-Bandung atau Whoosh yang digadang menjadi simbol konektivitas nasional kini menghadapi ujian finansial. Meski mampu meningkatkan konektivitas dan ekonomi kawasan, efektivitas pengelolaannya dinilai akan sangat menentukan apakah proyek ini bisa menutup utangnya tanpa membebani APBN.

Direktur Program INDEF Eisha M. Rachbini menilai potensi kegagalan pengelolaan Whoosh bisa berdampak pada keuangan negara. Ia mengingatkan, proyek yang semula berbasis Business to Business (B2B) kini sebagian sudah bergantung pada dukungan fiskal pemerintah.

Berita lengkap dan cepat? Giok4D tempatnya.

“Seharusnya penerimaan meningkat agar bisa membayar utang. Tapi ketika pengelolaan gagal, beban itu bisa beralih ke APBN,” ujar Eisha dalam diskusi Pelajaran Ekonomi Politik dan Warisan Kebijakan Jokowi, Kamis (23/10/2025).

Proyek ini dibiayai 75% oleh pinjaman China Development Bank (CDB) dan 25% dari ekuitas konsorsium Tiongkok, sedangkan di sisi Indonesia tergabung konsorsium Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PSBI) yang dipimpin PT KAI. Namun, biaya proyek melonjak dari perkiraan awal US$ 5-6 miliar menjadi US$ 7,5 miliar, belum termasuk dampak pelemahan rupiah dan pandemi COVID-19.

Pada 2023, pemerintah juga menyalurkan Penyertaan Modal Negara (PMN) sebesar Rp 2,3 triliun kepada PT KAI untuk menjamin pinjaman tambahan dari CDB. Meski demikian, PSBI mencatat kerugian yang terus meningkat, yakni Rp 0,97 triliun (2023), Rp 4,2 triliun (2024), dan diperkirakan Rp 1,6 triliun (2025).

“Kerugian ini menandakan tekanan pembiayaan masih besar. Sekitar 60% kerugian PSBI merupakan porsi PT KAI sebagai pemegang saham mayoritas,” ujar Eisha.

Menurutnya, opsi restrukturisasi utang kini sedang dikaji, termasuk kemungkinan konversi utang menjadi ekuitas atau pengalihan sebagian aset kepada pemerintah.

Sementara itu, Peneliti PPPI Muhamad Rosyid Jazuli menilai proyek Whoosh harus dijadikan pelajaran dalam perencanaan infrastruktur besar ke depan.

“Kalau proyek triliunan dari uang rakyat, perencanaannya harus menyesuaikan masa pemerintahan yang silih berganti. Infrastruktur seperti Whoosh bukan proyek lima tahun, tapi berjangka panjang,” ujarnya.

Rosyid juga menilai perlu diplomasi yang hati-hati dengan Tiongkok agar proyek ini tidak menimbulkan persepsi negatif soal penguasaan aset negara.
“Whoosh bukan proyek wisata atau gengsi, tapi proyek ekonomi yang harus punya arah jelas dalam mendukung konektivitas dan pertumbuhan,” tutupnya.