PT Mitra Bali Sukses operator gerai Mie Gacoan di Bali tersandung kasus pelanggaran hak cipta. Atas kasus tersebut, Direktur Mitra Bali Sukses, I Gusti Ayu Sasih Ira, ditetapkan sebagai tersangka dugaan pelanggaran hak cipta pemutaran musik dan lagu tanpa membayar royalti.
Namun, kasus hak cipta ini menuai ragam tanggapan dari sejumlah pakar. Pasalnya, kondisi ekonomi, anjloknya daya beli, besaran tagihan royalti hingga edukasi disebut menjadi faktor yang memicu adanya pelanggaran hak cipta.
Kondisi Ekonomi dan Minim Edukasi
Menanggapi hal tersebut, Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (UI), Rhenald Kasali, menilai Lembaga Kolektif Manajemen Nasional (LMKN) mempunyai kewenangan hukum untuk memungut hak cipta di area publik. Namun, ia menilai ada beberapa catatan implementasinya.
Pertama, kondisi dunia usaha khususnya UMKM tengah menghadapi tantangan mempertahankan eksistensi imbas keadaan ekonomi yang membuat pelaku harus kompetitif, efisien dan tak bisa menaikkan harga. Di sisi lain, runtuhnya daya beli membuat konsumen mencari barang lebih murah serta pengenaan pajak dari negara menekan pendapatan pelaku usaha.
“Tekanan ini sangat memberatkan. Jadi waktunya sangat tidak tepat untuk menuntut mereka membayar royalti. Seharusnya masalah ini cukup diselesaikan di luar pengadilan. Bukan menuntut secara hukum yang membuat masyarakat pelaku usaha semakin sulit dan memusuhi LMKN,” ungkap Rhenald saat dihubungi detikcom, Senin (21/7/2025).
Kedua, terang Rhenald, banyak pelaku usaha belum memahami kewajiban ini sehingga tarif produk dan jasa belum dibebankan kepada konsumen. Jadi kalau harus membayar, harus menambah biaya operasional dan mengurangi hak lainnya.
Ketiga, Rhenald menyebut banyak pelaku usaha merasa sudah membayar royalti melalui platform musik, sehingga membingungkan mekanisme pembayaran. Menurutnya, hal ini juga perlu diedukasi.
Keempat, adanya pertanyaan di tengah pelaku usaha terkait pihak yang memutuskan tarif, yakni Rp 120 ribu per kursi untuk UMKM. Menurutnya, besaran royalti membebani UMKM mengingat untuk memenuhi ketentuan gaji berdasarkan ketetapan UMR butuh waktu untuk mencapai kesepakatan bersama.
“Mengapa untuk hak cipta ini terkesan kurang edukasi, tak ada kesepakatan yang diumumkan terbuka, dan siapa yg duduk mewakili UMKM? Bagaimana LMKN dan pemerintah come up ke angka itu? Apa dasarnya? Lebih baik dikenakan tarif yang sangat murah, namun masyarakat patuh dan merasa wajar ketimbang dilakukan sepihak dan tidak transparan,” imbuhnya.
Perlu Campur Tangan Pemerintah
Dihubungi terpisah, Pakar Marketing dan Founding Chairman Indonesia Brand Forum (IBF), Yuswohady, menilai Mie Gacoan telah melanggar ketentuan hak cipta. Menurutnya, penyiaran lagu di outlet diwajibkan untuk membayar royalti.
“Memang melanggar, jadi itu melanggar hukum memang. Jadi artinya, dia (Mie Gacoan) kalau menyiarkan lagu yang memang sudah dilindungi hak ciptanya, itu terbukti, maka mereka harus membayar royalti. Ketika dia nggak membayar beberapa waktu, sudah terkumpul sampai miliaran, itu artinya bunganya sudah berbulan-bulan atau bertahun-tahun, artinya kerugian si artis besar juga,” ungkap Yuswohady kepada detikcom.
Yuswohady menilai, banyak pelaku usaha yang tidak mengetahui mekanisme penggunaan lagu atau musik di outlet. Di sisi lain, pengawasan dari lembaga terkait juga belum begitu efektif lantaran penggunaan hak cipta tanpa membayar royalti ini juga dilakukan oleh bisnis-bisnis skala kecil.
Ia juga menyebut, besaran pembayaran royalti juga disesuaikan dengan kapasitas outlet bisnis terkait. Secara undang-undang, terang Yuswohady, besaran tersebut telah diatur namun pengawasannya yang belum optimal dilakukan.
Menurutnya, pemerintah harus turun tangan untuk membenahi tarif royalti ini. sehingga solusi yang ada mencakup seluruh segmen industri, baik skala besar maupun kecil.
“Harusnya agar penegakkan hukum berjalan, mestinya kalau pemerintah tahu kalau UKM itu mungkin agak sulit untuk membayar itu, mestinya ada semacam subsidi, yang nalangin pemerintah tapi dari sisi pemilik hak ciptanya ada diskon sehingga tidak terlalu besar. Jadi dari sisi UKM tidak ada pelanggaran, dari sisi musisi dapat,” pungkasnya.
Kronologi Pelanggaran Hak Cipta
Direktur PT Mitra Bali Sukses, pemegang lisensi waralaba Mie Gacoan di Bali, I Gusti Ayu Sasih Ira ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan pelanggaran hak cipta. Status tersebut ditetapkan setelah penyidikan yang berlangsung sejak awal 2025.
Dikutip dari detikBali, menyandang status tersangka namun Ira belum ditahan. Hal ini dikonfirmasi langsung oleh Kabid Humas Polda Bali Kombes Ariasandy. Adapun Gerai Mie Gacoan di Bali dilaporkan menggunakan musik dan lagu secara komersial tanpa membayar royalti.
Estimasi kerugian akibat penggunaan tanpa izin ini disebut mencapai miliaran rupiah. Kasus ini bermula dari pengaduan masyarakat (Dumas) yang diterima Polda Bali pada 26 Agustus 2024. Setelah dilakukan penyelidikan, kasus naik ke tahap penyidikan pada 20 Januari 2025.
Hasil penyidikan mengarah pada Ira sebagai satu-satunya tersangka. Ia dianggap sebagai pihak yang paling bertanggung jawab dalam penggunaan musik secara ilegal di gerai tersebut.
“Belum ditahan (I Gusti Ayu Sasih Ira),” kata Ariasandy saat dikonfirmasi detikBali, Senin (21/7/2025).
Ira dilaporkan oleh Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) Sentra Lisensi Musik Indonesia (SELMI) melalui Manajer Lisensi Vanny Irawan, yang bertindak berdasarkan surat kuasa dari Ketua SELMI.
“Pelapor SELMI, dalam hal ini diwakili Manajer Lisensi Vanny Irawan,” ujar Ariasandy.