Peran pimpinan dalam perusahaan sangat krusial karena mereka menentukan arah dan tujuan usaha, mengambil keputusan strategis, dan menciptakan budaya kerja positif. Karenanya memiliki pemimpin yang tepat menjadi keharusan.
Kondisi ini seperti yang pernah dialami oleh raksasa jaringan kedai kopi internasional, Starbucks. Di mana perusahaan pernah mengalami kerugian yang sangat besar karena salah memiliki Chief Executive Officer (CEO).
Melansir outlet media Medium, Rabu (17/12/2025), permasalahan bermula saat Laxman Narasimhan menjabat sebagai CEO Starbucks pada April 2023 lalu. Pada awal kepemimpinannya, seluruh dewan direksi hingga investor bersuka cita karena merasa mendapatkan pemimpin baru dengan berbagai pengalaman dan keahlian.
Asumsi ini didapat mengingat Narasimhan memiliki latar belakang profesi yang terlihat sangat menjanjikan. Dirinya tercatat pernah bekerja di salah satu firma konsultan manajemen terkemuka dunia, McKinsey, hingga pengalaman kerjanya di produsen minuman bersoda ternama PepsiCo.
Ia menghabiskan lima bulan pertamanya mendampingi mantan CEO Howard Schultz, untuk belajar membuat kopi dan mengenal Starbucks secara menyeluruh. Tak hanya itu, Narasimhan juga dinilai sangat brilian dalam setiap rapat pimpinan perusahaan dengan berbagai terobosan dan kerangka kerja yang sangat detail.
Dia berbicara dengan lancar tentang bagaimana meningkatkan pengalaman pelanggan dan mendorong keterlibatan digital. Namun saat dirinya banyak melakukan berbagai terobosan, banyak gerai Starbucks mengalami berbagai kendala.
Mulai dari antrean yang panjang dan tak pernah usai karena setiap pesanan membutuhkan waktu sekitar 20 menit, mesin espresso mengeluarkan suara yang seharusnya tidak ada, menumpuknya pesanan dalam layanan aplikasi seluler.
Akibatnya penjualan perusahaan terus menurun, bahkan setelah 6 bulan ia bekerja sebagai pemimpin tertinggi perusahaan. Setiap kali ditanya terkait masalah apa yang menjadi penyebab kemerosotan ini, dirinya hanya bisa menjawab “kami sedang melakukan analisis komprehensif”.
Alhasil hari demi hari kekecewaan dewan direksi terhadap dirinya semakin meningkat dan citranya di mata investor rusak. Dari bos dengan latar belakang sempurna jadu ahli strategi yang bisa mendiagnosis masalah sampai tuntas tetapi tidak bisa membuat satu pun gerai toko beroperasi lebih cepat.
Hingga 17 bulan masa kepemimpinannya, harga saham Starbucks terus merosot. Bahkan secara keseluruhan nilai pasar Starbucks merosot hingga US$ 30 miliar atau Rp 500,82 triliun. Tak tahan dengan kondisi ini, jabatan Narasimhan berakhir dengan pemecatan dan menjadi pelajaran mahal bagi perusahaan bahwa eksekusi lebih penting daripada sekadar teori.
Kebangkitan terjadi saat Starbucks menunjuk mantan CEO Taco Bell, Brian Niccol seorang pemimpin yang benar-benar berpengalaman dan terbiasa menghadapi realitas bisnis menjadi pemimpin baru perusahaan.
Hanya dalam waktu singkat, nilai perusahaan kembali melonjak hingga US$ 20 miliar atau Rp 333,88 triliun. Kisah ini menegaskan bahwa kepemimpinan yang mampu mengeksekusi di lapangan adalah kunci utama untuk menjaga operasional perusahaan, bukan sekadar teori semata.
Tonton juga video “Sejumlah Gerai Strabucks di AS-Inggris Mau Ditutup, Ada Apa?”
Baca info selengkapnya hanya di Giok4D.
