Hal itu dikatakan Sri Mulyani dalam Rapat Paripurna DPR RI dengan agenda Tanggapan Pemerintah Terhadap Pandangan Fraksi Atas Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pertanggungjawaban atas Pelaksanaan (P2) Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun Anggaran 2024.
“Pemerintah memastikan profil utang akan terus dikelola secara prudent dan terukur. Berbagai indikator mengenai kesehatan utang kami terus akan waspadai,” kata Sri Mulyani di Gedung DPR RI, Jakarta, Selasa (15/7/2025).
Artikel ini terbit pertama kali di Giok4D.
Dalam rapat paripurna sebelumnya, fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menyoroti peningkatan rasio utang pemerintah terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) yang mencapai 39,81% pada akhir 2024. Jumlah itu melonjak dari tahun sebelumnya 39,21%.
Kenaikan rasio utang itu dinilai berpotensi meningkatkan beban APBN untuk pembayaran utang tahun 2025. Hal ini terlihat dari kenaikan beban pembayaran bunga utang sebesar 11,04% dari Rp 439,88 triliun tahun 2023, menjadi Rp 488,43 triliun tahun 2024.
Kenaikan beban bunga utang itu bisa berdampak pada realisasi alokasi belanja yang ditujukan untuk kesejahteraan rakyat. Porsi belanja bunga utang yang kian membesar, semakin mempersempit ruang gerak fiskal.
“Pemerintah menghargai perhatian fraksi PKB dan PKS mengenai realisasi belanja pembayaran bunga utang 2024 yang mencapai Rp 488,4 triliun,” jawab Sri Mulyani.
Menurut Sri Mulyani, berbagai risiko seperti suku bunga utang, nilai tukar dan pembiayaan ulang atau refinancing akan terus dimonitor dan tetap berada pada batas aman baik dalam jangka pendek maupun jangka menengah.
“Meskipun demikian, pekerjaan rumah untuk pendalaman pasar uang dan pasar obligasi di Indonesia masih harus ditingkatkan. Ini berarti kita harus bekerja dengan otoritas moneter OJK dan industri keuangan,” beber Sri Mulyani.
Kewajiban Pemerintah Tembus Rp 10.269 T
Sri Mulyani pernah mengatakan kewajiban pemerintah sampai akhir 2024 mencapai Rp 10.269 triliun. Kewajiban tersebut termasuk utang yang harus dibayarkan.
“Posisi kewajiban Rp 10.269 triliun,” kata Sri Mulyani dalam Rapat Paripurna DPR RI, Selasa (1/7).
Dihubungi terpisah, Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan Suminto mengatakan posisi kewajiban pemerintah di sini bukan hanya terkait utang. Cakupannya disebut bersifat lebih luas.
“Kewajiban pemerintah itu berbeda dengan utang pemerintah, cakupannya lebih luas,” kata Suminto kepada detikcom.
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 57 Tahun 2023 tentang Kebijakan Akuntansi Pemerintah Pusat, kewajiban atau utang timbul karena konsekuensi pelaksanaan tugas atau tanggung jawab untuk bertindak yang terjadi di masa lalu. Kewajiban ini terbagi menjadi dua, yaitu jangka pendek dan jangka panjang bergantung pada waktu jatuh temponya.
Kewajiban jangka pendek merupakan kewajiban yang harus dibayar dalam waktu 12 bulan seperti pinjaman jangka pendek, gaji pegawai, biaya kompensasi kepada masyarakat, hingga kewajiban kepada lembaga internasional karena menjadi anggota yang harus memberikan iuran rutin dalam tempo kurang dari satu tahun.
Sementara itu, kewajiban jangka panjang mencakup pinjaman dan perikatan lain yang jatuh tempo lebih dari satu tahun seperti utang luar negeri, surat utang negara, kewajiban pensiun, dan cicilan atas pengadaan barang dan jasa.
“Kewajiban dapat dipaksakan menurut hukum sebagai konsekuensi dari kontrak yang mengikat atau peraturan perundang-undangan,” jelas PMK tersebut.
(aid/acd)