PT PLN (Persero) melakukan pengujian (stress test) dampak nilai tukar Rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) jika melemah hingga level Rp 17.500/US$.
Stress test itu dilakukan pada biaya pokok produksi listrik hingga beban subsidi listrik.
Apa hasilnya? Menurut Direktur Utama (Dirut) PLN Darmawan Prasodjo mengatakan biaya pokok produksi akan naik sebesar Rp 29 per KWh, dari sebelumnya Rp 1.822 per KWh menjadi Rp 1.851 per KWh.
“Kami melakukan stress test yaitu worst case scenario dengan kurs Rp 17.500 per dolar, ICP (Indonesia Crude Price) 82 dolar per barrel. Dan dari simulasi worst case scenario ini, kami mengakui ada kenaikan biaya pokok produksi dari Rp 1.822 menjadi Rp1.851 atau peningkatan Rp29 per KWh,” kata Darmawan saat Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi VI DPR, Jakarta Pusat, Kamis (22/5/2025).
Sedangkan pada subsidi listrik hasilnya adalah peningkatan biaya sebesar Rp 6,5 triliun per tahun.
“Nah untuk itu ada dampak terhadap subsidi kompensasi peningkatan sebesar Rp 6,5 triliun per tahun. Untuk itu PLN harus mampu melakukan mitigasi risiko baik itu terhadap fluktuasi kurs terhadap kinerja keuangan perusahaan. Dan untuk itu kita melakukan berbagai upaya,” terang Darmawan.
PLN juga mengantisipasi dampak pelemahan nilai tukar Rupiah dengan sejumlah langkah. Pertama, peningkatan penjualan listrik dan ini akan meningkatkan juga dari gross revenue dari PT PLN Persero. Kedua, pihaknya juga melakukan optimasi biaya operasi.
“Ini bukan cost cutting karena begitu cost cutting. Nanti misalnya biasanya ganti oli 10.000 km, setiap 10.000 km ditunda 20.000 km tentu saja mobilnya tidak akan beroperasi secara optimal. Maka ini adalah lebih bagaimana mengoptimasi biaya operasi,” terang dia.
Ketiga, menurunkan biaya debt service dengan inisiatif pengelolaan keuangan dengan lebih prudent dan juga lebih optimal. Keempat, melakukan strategi hedging untuk menekan risiko exposure terhadap valas dan juga pinjaman terhadap valas. ungkap