Bisnis Penyimpanan Karbon RI Menjanjikan, tapi Banyak Tantangannya | Info Giok4D

Posted on

Bisnis pengembangan teknologi penyimpanan karbon atau Carbon Capture and Storage (CCS) dan Carbon Capture Utilization and Storage (CCUS) di Indonesia disebut cukup menjanjikan. Teknologi itu digandang-gadang menjadi salah satu strategi mencapai Net Zero Emission (NZE) pada 2060.

Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM, Dadan Kusdiana, menegaskan beberapa proyek percontohan dalam pengembangan program ini telah dilakukan dan memberikan feedback yang positif. Namun, muncul kekhawatiran pengembangan bisnis ini berisiko memperlambat pengembangan energi baru terbarukan (EBT).

Ia mengungkap bisnis itu dihadapkan dengan berbagai kendala dan tantangan biaya investasi yang tinggi hingga munculnya kekhawatiran dari berbagai pihak terhadap program pengembangan EBT.

“Memang tidak semua energi fosil dapat langsung ditinggalkan. Oleh karena itu, CCS/ CCUS ini hadir sebagai jembatan transisi. Kita tidak bisa menghindari kenyataan bahwa masih ada industri dan pembangkitan yang belum bisa sepenuhnya beralih ke EBT sehingga CCS menjawab kebutuhan itu,” ujar Dadan dalam keterangannya, dikutip Selasa (22/7/2025).

Dadan menyatakan, pemerintah juga sangat serius untuk memastikan ekosistem pengembangan program CCS/ CCUS ini dapat berjalan optimal. Selain regulasi yang dinilai lebih maju dibandingkan dengan negara-negara tetangga, pemerintah juga menegaskan komitmennya untuk memastikan program ini tetap sustain tanpa harus menghilangkan program serupa seperti pengembangan EBT.

Bahkan pemerintah telah menjalin kerjasama dengan Singapura untuk melakukan pilot project pengembangan CCS/ CCUS yang ditandatangani pada Oktober 2022 terkait kerja sama CCS/CCUS lintas batas. Fokus kerja sama yang dijalin ini adalah pengembangan regulasi, studi kelayakan teknis dan ekonomi, serta kerangka kerja legal untuk transportasi dan penyimpanan karbon lintas negara.

“Ini menjadi peluang ekonomi kita, kita pastikan dari sisi risiko, keekonomian dan regulasi bisa sesuai. Melalui kerjasama ini akan membuka peluang ekonomi baru dan memberikan kesempatan baru untuk menurunkan emisi,” kata Dadan.

Koordinator Pokja Pengembangan Wilayah Kerja Migas Non-Konvensional Kementerian ESDM, Dwi Adi Nugroho menambahkan menyebutkan bahwa Indonesia telah menyiapkan regulasi yang memungkinkan CCS/ CCUS berkembang, termasuk dalam konteks kerja sama internasional. Peraturan Menteri (Permen) ESDM No. 2 Tahun 2023 dan Perpres No. 14 Tahun 2024 menjadi dasar utama bagaimana pemerintah serius memperhatikan program ini.

“Saat ini kami juga sedang menyiapkan dua skema utama dalam pengembangan bisnis CCS/ CCUS ini sebab kami sedang menyusun Peraturan Pemerintah (lainnya) untuk memperkuat regulasi bisnis CCS secara komprehensif,” katanya.

Dwi menambahkan bahwa isu lintas batas atau cross-border juga menjadi perhatian dalam pengembangan CCS/ CCUS. Oleh sebab itu diperlukan payung hukum bilateral agar kerja sama antarnegara tidak hanya menguntungkan pihak asing.

“Kita tidak mau hanya jadi tempat buang karbon. Harus ada kaitan dengan investasi, maka kalau ini tidak dimanfaatkan, ini bisa jadi masalah di kemudian hari,” sambungnya.

Dari sisi industri hulu migas, Vice President of Business Support dan Lead Carbon Management SKK Migas, Firera, menekankan bahwa CCS/CCUS perlu dilihat sebagai bagian dari ekosistem yang lebih luas. Oleh sebab itu aspek teknikal harus ditopang oleh aspek non-teknikal sehingga dapat mengoptimalkan potensi yang ada.

Menurutnya beberapa tantangan yang perlu menjadi perhatian semua pihak dalam upaya pengembangan program CCS/ CCUS diantaranya adalah permasalahan biaya yang tinggi dan kelayakan ekonomi.

Kemudian soal hambatan teknologi dan ketersediaan infrastruktur yang belum memadahi, kesenjangan regulasi dan kebijakan pemerintah yang dinilai belum optimal hingga aspek penerimaan publik terhadap isu CCS/ CCUS yang belum sepenuhnya memahami.

“Implementasinya menghadapi berbagai hambatan serius baik dari segi ekonomi, teknologi, regulasi, maupun sosial. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan lintas sektor dan kolaboratif agar pengembangan CCS/CCUS di Indonesia dapat berjalan efektif dan berkelanjutan,” katanya.

Firera menambahkan bahwa apabila seluruh pelaku industri hulu migas mampu mengimplementasikan program CCS/ CCUS pada setiap proyek yang dijalankan di hulu migas akan dapat mengoptimalkan revenue yang berdampak positif bagi perusahaan. Bahkan apabila program ini digarap secara serius akan berpeluang menjadi sumber pendapatan baru bagi pelaku industri hulu migas.

“CCS menjadi jalan tengah antara kebutuhan energi yang masih dominan fosil dengan target dekarbonisasi. Namun kita ingin CCS bukan sekadar fokus pada beban biaya (investasi), tapi justru jadi revenue generator karena selain menurunkan emisi sekaligus membuka peluang bisnis baru,” tegasnya.

Sementara itu, Direktur Perencanaan Strategis Portofolio dan Strategis Pertamina Hulu Energi (PHE), Edi Karyanto, menegaskan kesiapan industri dalam mengembangkan proyek CCS. Bahkan bagi PHE saat ini telah memiliki 12 proyek pengembangan CCS/ CCUS dengan kapasitas penyimpanan mencapai 7,3 Giga ton.

“Ini bukan sekadar target NZE, tapi kami melihat CCS/ CCUS ini sebagai potensi bisnis masa depan,” ujar Edi.

Namun, Edi mengakui tantangan terbesar saat ini adalah pendanaan dan keekonomian proyek. Di sisi lain regulasi dan keberpihakan pemerintah diharapkan dapat ditingkatkan agar potensi bisnis yang sangat menjanjikan di masa mendatang dapat benar-benar dioptimalkan.

“Skema bisnis CCS sangat kompleks dan padat modal. Kami butuh insentif fiskal seperti pengurangan pajak, royalti, serta kemudahan perizinan, khususnya maritim dan lingkungan,” ujarnya.

Executive Director Indonesia Climate Change Trust Fund Kementerian PPN/ Bappenas, Yahya Rachmana Hidayat, mengingatkan bahwa CCS/ CCUS tidak boleh menjadi dalih untuk memperlambat transisi ke EBT. Sebab program CCS/ CCUS dengan program transisi energi dengan mengoptimalkan proyek EBT harus berjalan beriringan agar target NZE dapat dicapai dengan berbagai upaya kolaboratif.

“Kalau PLTU diperpanjang dengan alasan ada CCS, itu bisa menghambat pengembangan EBT. maka kita butuh kerangka regulasi yang mencegah konflik kepentingan ini,” tegas Yahya.

Ia menekankan bahwa program CCS/ CCUS ini harus difokuskan untuk sektor-sektor yang sulit didekarbonisasi, namun bukan dalam rangka untuk memperpanjang usia energi murah tapi kotor. Program untuk menuju energi bersih harus tetap menjadi program prioritas pemerintah untuk jangka panjang

Bappenas saat ini mengembangkan strategi super green development yang mengintegrasikan EBT, hidrogen, nuklir, dan CCS dalam kerangka pembangunan berkelanjutan. “Kita perlu kepastian regulasi untuk menarik investor. Kami sedang menyusun panduan dan kerangka kerja sama teknis dengan Uni Eropa untuk memperkuat posisi Indonesia,” ujarnya.

Artikel ini terbit pertama kali di Giok4D.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *